Pendahuluan
Oleh |
Tujuan yang utama dari pembaharuan pendidikan ilmu pengetahuan adalah untuk menghasilkan kurikulum yang memperbaiki pembelajaran
semua siswa. Di dalam studi ini, kita menyelidiki pemakaian pembelajaran yang berbasis desain untuk mencapai tujuan ini. Tidak seperti
mayoritas negara-negara yang terindustrialisasi di dunia, K-12 pendidikan di
US. memberikan perhatian yang sangat kecil di desain
dan teknologi. Pendidikan Desain dan teknologi bukan suatu subyek yang
diperlukan di sekolah menengah pada kebanyakan sekolah. Bahkan di tingkatan sekolah menengah,
pendidikan Desain dan teknologi pada umumnya adalah
satu subyek pilihan dan tidak ditawarkan
di semua sekolah (Dyer, Reed & Berry, 2006).
Sebaliknya,di US. Sekolah keteknikan sedang memberikan lebih banyak perhatian pada kerjasama, ketrampilan-ketrampilan proses desain, dan konstruksi
langsung. Untuk ini dan pertimbangan lain, berbagai standar ilmu pengetahuan
sedang mulai didorong untuk berperan lebih serius pada desain dan teknologi di dalam kurikulum K-12. Namun Ilmu pengetahuan yang
ada di kurikulum K-12 belum
menangkap, dan perlakuan pada desain dan teknologi pada umumnya lemah. Kebanyakan kurikulum ilmu
pengetahuan kekurangan latar belakang desain di luar subyek-subyek teknologi informasi (IT) (De Vries, 1997).
Ada suatu pengembangan
yang baru, dengan nama Design-Based Learning (DBL), yang sedang mencoba untuk membahas masalah
ini (Kolodner, et al., 1998; Rivet &Krajcik, 2004). Proses desain itu adalah beraneka segi dan kaya dan boleh jadi mampu menghasilkan pengetahuan baru
dengan cara yang sejalan dengan proses pemeriksaan yang ilmiah. Selanjutnya, apakah DBL itu dan bagaimana DBL berhubungan dengan proses inkuiry ilmiah?
Inkuiry adalah suatu keaktifan
yang beraneka segi yang melibatkan pembuatan
observasi-observasi; bersifat pertanyaan-pertanyaan; penyelidikan-penyelidikan perencanaan; peninjauan ulang tentang apa yang telah diketahui untuk
memecahkan bukti eksperimental; menggunakan peralatan untuk berkumpul, meneliti, dan menginterpretasikan data;
pengusulan jawaban, penjelasan-penjelasan, dan perkiraan
serta berkomunikasi mengenai hasil-hasil.
(Dewan Penelitian Nasional National
Research Council, 1996,p.23).
Doppelt (yaron@pittedu) adalah dosen Sakhnin Academic College for Teacher Education, Israel. Christian D. Schunn (schunn@pittedu) adalah seorang Research Scientist pada Learning Research and Development Center dan
Associate Profesor of
Psychology, Matthew M. Mehalik (mmehalik@pittedu) adalah salah satu anggota Adjunct
Faculty in Freshman Programs di the School of Engineering, dan Eli
Silk (esilk@pitted) adalah seorang siswa lulusan Universitas Pittsburgh.
Denis Krysinski (dkrysinski1@pghboenet) adalah seorang guru pada Greenfield
School di Pittsburgh.
Meskipun definisi inkuiry, kebanyakan dari kurikulum ilmu pengetahuan yang diterapkan di sekolah-sekolah AS menggunakan
scripted-inquiry dibanding authentic inkuiry. Di dalam naskah inkuiry, para guru menetapkan tujuan, memberikan pertanyaan-pertanyaan, menyediakan bahan-bahan, menyediakan
prosedur-prosedur, dan mendiskusikan dengan para siswa hasil-hasil yang , "benar" dan kesimpulan "yang benar"
(Bonnstetter, 1998).
Sebagai pembanding, DBL menyediakan alasan untuk belajar isi ilmu
pengetahuan dengan melibatkan siswa di dalam desain dan menggunakan tempat
peristiwa yang berguna dan alami (wajar) untuk belajar ketrampilan-ketrampilan ilmu pengetahuan dan desain. Sifat yang
kolaboratif dari desain menyediakan peluang untuk kelompok kerjasama (Kolodner,
2002). DBL memungkinkan para siswa untuk membuat konstruksi dari konsep-konsep teori sebagai hasil perancangan dan
membuat individu, yang berdayacipta, dan proyek-proyek kreatif, untuk memulai
proses pelajaran yang sesuai dengan pilihan mereka sendiri, gaya-gaya belajar, dan berbagai ketrampilan-ketrampilan. Itu juga membantu guru
dalam menciptakan suatu masyarakat perancang yang bekerjasama dalam kelompok ( Barak
&Maymon, 1998; Doppelt, 2005; Resnick & Ocko, 1991). Dengan cara ini,
siswa menggabungkan aktivitas "langsung"
dengan apa yang Papert (1980) sudah sebutkan sebagai aktivitas "heads-in". Ketika para siswa menciptakan proyek-proyek,
mereka mengalami pelajaran yang berguna yang memungkinkan pelatihan gagasan-gagasan yang canggih yang dibangun dari
proyek-proyek mereka sendiri ( Doppelt & Barak, 2002). Sebagai tambahan untuk menyediakan para siswa
terhadap suatu
pemahaman yang kaya mengenai desain dan teknologi, DBL dapat mempunyai beberapa
keuntungan-keuntungan yang lain. Pertama-tama, karena desain yang baik
melibatkan arus dan kebutuhan-kebutuhan riil, para siswa termotivasi untuk
belajar karena penerapan pengetahuan semakin jelas nyata dalam situasi-situasi kehidupan. (Doppelt,
2003; Hill & Smith, 1998). Ke dua, DBL
adalah satu proses yang aktif dan mempunyai semua keuntungan dari pelajaran
yang aktif. Pelajaran aktif adalah suatu pendekatan bidang pendidikan yang menempatkan para siswa di pusat proses pembelajaran dan mengenali variasi gaya-gaya pembelajaran yang berbeda (Dewey, 1916; Gardner, 1993; Kolb, 1985; Perkins,
1992; Sternberg, 1998). Pelajaran aktif mengubah peran guru dari pemberi
ceramah/ dosen menjadi guru privat, pemandu, dan mitra di dalam proses pembelajaran (Prince, 2004). Pengetahuan yang diperoleh melalui
pelajaran aktif adalah pengetahuan bersifat membangun dan bukan tipe dari
pengetahuan yang bersifat dihafalkan dan mengerjakan latihan-latihan atau pekerjaan rumah dari buku (Gardner, 1991).
Ketiga, DBL dikhususkan pada sebuah aktivitas tim, dan mempunyai keuntungan-keuntungan dari pelajaran yang
kolaboratif. Para siswa yang sudah berhasil
berprestasi mempelajari metoda-metoda
kerjasama di akademis dan prestasi non-akademis (Lazarowitz, Hertz-Lazarowitz &Baird, 1994, Verner
&Hershko, 2003). Bekerja di dalam regu-regu menghasilkan suatu nomor dan
variasi gagasan yang lebih besar dibanding dengan kerja di dalam pengasingan
(Denton 1994). Suatu lingkungan pelajaran yang mengizinkan kerjasama kelompok dapat membantu para siswa mengembangkan ketrampilan-ketrampilan
komunikasi antar pribadi mereka, ketrampilan-ketrampilan presentasi, dan
ketrampilan-ketrampilan pemecahan masalah (Butcher, Stefanai & Tariq, 1995; Doppelt, 2004; 2006).
Pada waktu yang sama, DBL menyajikan berbagai kesulitan baru untuk
pelajaran siswa, terutama di dalam situasi
performa yang rendah di pendidikan
ilmu pengetahuan K-12. Banyak guru AS mempunyai persiapan yang lemah dalam ilmu
pengetahuan, tetapi bahkan lebih lemah di dalam desain ( Ritz & Reed, 2005). DBL bisa memotivasi para siswa,
tetapi sifat yang terbuka dari desain bisa meninggalkan penerimaan yang rendah
pada siswa. Ini pasti kasus ketika
para guru mencoba proyek-proyek desain yang besar. Tugas tentang isi ilmu
pengetahuan, proses desain, dan ketrampilan-ketrampilan kerjasama kelompok bisa terlalu
banyak membebani teori untuk para siswa yang penerimaannya rendah. Proses desain itu paralel untuk memecahkan permasalahan dan mempunyai suatu
struktur yang umum yang pada umumnya termasuk langkah-langkah seperti:
melukiskan masalah dan mengidentifikasi kebutuhan, pengumpulan informasi,
memperkenalkan penyelesaian alternatif, pemilihan pemecahan optimal, merancang dan membangun suatu prototipe, dan
evaluasi.
Bagaimanapun, proses desain sudah dikritik oleh peneliti-peneliti yang sudah mengklaim bahwa
sulit untuk digunakan para murid dan bahkan oleh para guru untuk belajar bagaimana caranya menggunakannya ( McCormick & Murphy,
1994). Untuk menghindari mengajar suatu proses desain yang umum dapat menjadi kaku, itu sudah dibantah adalah penting
bahwa para guru membantu para murid di dalam mengintegrasikan pengetahuan dari ilmu pengetahuan dan
disiplin-disiplin lain ke dalam pemikiran desain mereka (De Vries, 1996). Ini tidak sebaiknya atau
bahkan penting bahwa para murid membangun gagasan mereka, solusi-solusi dan hasil-hasil yang
mengikuti suatu himpunan yang spesifik dari langkah-langkah proses desain. Apa penting untuk
mengajari mereka
mendokumentasikan dengan baik dan belajar untuk mencerminkan pada kreasi mereka (Sanders, 2000; Doppelt, 2007).
Paper ini menyelidiki isu-isu pada suatu studi kasus yang
berkenaan dengan kota, publik, sekolah menengah di lingkungan pendapatan rendah. Kita menguji dua
kelas ilmu pengetahuan di sekolah menengah yang diajar oleh seorang guru yang mengubah suatu standar untuk
pertama kali, pendekatan naskah inkuiry menjadi suatu pendekatan pelajaran yang berbasis desain.
Peneliti-peneliti terutama sekali tertarik akan dua pertanyaan.
Pertama, akankah para siswa yang pemahaman sebelumnya tinggi dan low-achievers menjadi sama ditautkan oleh DBL? Ke dua, akankah
kesenjangan tradisional di dalam
prestasi ilmu pengetahuan berhubungan dengan race/ethnicas, jenis kelamin, dan
status ekonomi-sosial ditingkatkan atau dikurangi?
Bekerja di luar US. disarankan hasil-hasil positif bersifat mungkin ( Barak & Doppelt,1999,
2000; Barak, Eisenberg, & Harel, 1995; Barlex, 1994; Prince, 2004). Tetapi
ketiadaan sejarah dengan DBL di dalam AS itu bisa menghasilkan hasil-hasil yang berbeda, seperti socio-cognitive pendidikan
berkenaan dengan kota. US.
Metoda-metoda
Konteks Distrik Utama
Di dalam penelitian ini, kita memulai satu studi kasus yang
mendalam tentang penambahan pendidikan ilmu pengetahuan melalui pelajaran yang
berbasis desain. Sebelum studi ini, peneliti-peneliti (ke tiga
pengarang-pengarang yang pertama) mendapatkan suatu kesenjangan antara keadaan dan standar ilmu
pengetahuan lokal dan lingkungan pelajaran yang sedang digunakan di dalam
distrik ini. Kesenjangan antara standar dan implementasi lingkungan pelajaran yang ada terutama sekali memiliki kekurangan
proses desain. Standar spesifik
yang sedang dilalaikan adalah:
(1) mengetahui dan menggunakan proses desain secara teknologi untuk memecahkan suatu masalah, dan (2) Menjelaskan
bagian-bagian suatu sistem sederhana dan hubungan antara satu sama lain.
Peneliti-peneliti memulai beberapa interaksi-interaksi dengan
personil di dalam bagian distrik divisi
pembelajaran. Melalui diskusi-diskusi
dengan koordinator dan tutor pembelajran distrik, kelompok menyetujui bahwa suatu model yang berbasis
desain akan bermanfaat bagi instruksi yang sedang berlangsung di dalam
kelas-kelas ilmu pengetahuan kelas delapan, terutama sekali dalam modul setengah tahun yang disertai pengajaran konsep-konsep kelistrikan dan
elektronika. Instruksi utama yang digunakan di dalam modul elektronika ini menekankan suatu
pendekatan scripted-inquiry (yaitu., para siswa diberitahu persisnya bagaimana
caranya melakukan masing-masing prosedur-prosedur kegiatan dengan pemeriksaan
langkah-demi-langkah dan lembar kerja).
Kurikulum Desain
Untuk
memasukkan pemikiran
desain dan sistem teknologi, kita mengembangkan suatu modul pembelajaran yang
baru, suatu proses dari pelatihan guru, dan suatu rencana untuk implementasi di
dalam kurikulum ilmu pengetahuan yang teratur. Hasil
modul, Sistem alarm Listrik: Desain, Konstruksi,
dan Reflection (Doppelt, Mehalik & Schunn, 2004), tertata menurut suatu
variasi kerangka pemikiran kreatif (De Bono, 1986) yang berlaku untuk desain. Komponen-komponen kerangka
itu adalah: Tujuan, Masukan, Solusi-solusi, Pilihan, Pelaksanaan, dan evaluasi Purpose,
Input, Solutions, Choice, Operations, and Evaluation (PISCOE).
Modul mencakup modus-modus dari pemikiran desain seperti
kebutuhan-kebutuhan, persyaratan-persyaratan, solusi-solusi pembangkit, dan
membuat keputusan-keputusan, seperti itu mengikuti suatu proses serupa dengan
cara insinyur-insinyur mendisain sistem baru. Tidak ada konsep yang menerangkan sampai pada suatu kebutuhan para
siswa untuk dilakukan, dan hanya setelah suatu periode di mana para siswa sendiri mencoba konsep. Para Siswa dan para guru mengikuti sistem pendekatan disain (Gibson
1968; Blanchard & Fabrycky 1998) selama 4 -5 minggu implementasi.
Para siswa belajar tentang: (1) Sistem alarm -di mana mereka dapat
ditemukan, pertimbangan sistem seperti itu ada, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana
caranya membangun sistem yang demikian; (2) Sistem dan subsistem teknologi, beserta
tujuan-tujuan dari sistem; (3) Membangun satu sistem alarm untuk mempelajari komponen-komponen
elektronik dapat diterapkan di dalam mengembangkan sistim yang demikian; (4) Pengungkapan
pendapat, berkomunikasi, dokumen, bekerja di dalam regu-regu, dan merancang
teknologi sistem untuk memecahkan permasalahan; 5)Mengembangkan kriteria untuk
menaksir proses desain; 6) Mengevaluasi disain alternatif sebagai solusi-solusi masalah; dan 7) Menrefleksikan proses desain.
Peserta-peserta
Di dalam studi ini, kita menguji implementasi modul dengan tiga
puluh delapan siswa dalam dua kelas IPA. Masing-masing kelas bertemu selama satu jam, lima hari
per minggu. Para siswa itu murid kelas delapan (tiga belas sampai empat belas tahun usia) di suatu
sekolah negeri pertengahan dalam satu distrik kota. Guru mempunyai tingkat master dan tiga puluh tahun
pengalaman di dalam mengajar ilmu pengetahuan di sekolah
dasar dan sekolah menengah. Satu
kelas dipertimbangkan oleh sekolah tersebut untuk menjadi kelas low-level.
Kelas yang lain dianggap sebagai suatu kelas yang tingkat tinggi (lihat Table
1). Sekolah tersebut menugaskan para siswa masuk kelas-kelas berdasar pada prestasi-prestasi sebelumnya secara menyeluruh di bermacam
subyek (eg., ilmu pengetahuan, matematika, bahasa Inggris, dll.) di dalam tahun pelajaran yang utama.
Tabel 1
Etnisitas, jenis kelamin, dan socio-economical status para siswa pada
kedua kelas.
Low
Achievers class
( n = 22)
|
High Achievers class
( n =16)
|
|
% Minority
|
41
|
25
|
% Male
|
55
|
38
|
% Low SES
|
50
|
50
|
Berdasarkan pada tahun sebelumnya dengan para siswa secara umum dan dua kelas pelaporan yang utama dari para siswa tertentu, instruktur mengharapkan kelas pemahaman
rendah untuk melaksanakan lebih
sedikit kegiatan di dalam
kelas ilmu pengetahuan.
Banyaknya para siswa yang bebas atau harga makan siang yang
dikurangi digunakan untuk menentukan Socio-Economic Status (SES) dilaporkan di Tabel 1. Sejumlah variabel-variabel
digunakan untuk menentukan hal yang memenuhi syarat untuk makan siang ini dan
termasuk pendapatan, pembayaran-pembayaran kesejahteraan, ukuran keluarga, dan jumlah dari anak-anak di
sekolah. Variabel ini sebagai satu indikator dari SES pada umumnya suatu
peramal yang kuat dari penampilan siswa di dalam ilmu pengetahuan di AS.
Pengumpulan Data dan Analisis
Untuk mengembangkan satu pemahaman yang mendalam perikatan dan
prestasi siswa di seting ini, kita menganalisa tiga sumber data:
1. Tes Pengetahuan Knowledge
Test (KT)
Peneliti-peneliti secara rinci membuat tes pengetahuan dengan tujuh pertanyaan
multiple-choice yang
dirancang berdasarkan konsep-konsep kelistrikan, seperti hambatan, arus, tegangan, dan rangkaian seridan paralel.
Inilah yang dilaksanakan di dalam program untuk memastikan bahwa semua konsep yang sebelumnya telah diajarkan oleh distrik akan
tercakup dalam tes pengetahuan (Mehalik, Doppelt, & Schunn, 2008). Siswa
diberi sebuah
pre-test dan sebuah
posttest untuk mengukur perubahan perkembangan
pengetahuan mereka tentang konsep-konsep kelistrikan. Ada dua versi,
yang ditugaskan kepada masing-masing siswa secara
acak. Pre-test dilaksanakan
sebelum modul diberikan. Post-test dilakukan setelah pertemuan
terakhir dari modul lima minggu.
2. Penilaian Presentasi Lisan (Oral Presentation
Assessment)
Setelah kelompok menyelesaikan masing-masing bagian modul
pelajaran, transparansi digunakan untuk menunjukkan kemajuan mereka di kelas. Di akhir modul
pelajaran, masing-masing regu diwajibkan untuk menyajikan seluruh desain dan
membangun proses. Penilaian guru dan penilaian teman sebaya dilaksanakan untuk
masing-masing presentasi-presentasi regu ini. Keduanya, para guru dan teman
sebaya menggunakan empat kriteria yang sama untuk menilai masing-masing
presentasi kelompok: pengetahuan informasi, penjelasan dari tiap jenis, penggunaan dari model
sistem alarm, dan penggunaan dari transparansi. Guru dan masing-masing siswa mengumpulkan nilai penampilan dari
tiap presentasi-presentasi regu dengan
skala 5 (mmuaskan) sampai 1 (yang tak
memuaskan).
3. Analisis dari portofolio siswa
Tiga puluh delapan portofolio siswa dan
dokumentasi regu terdiri dari dua belas himpunan transparansi presentasi dikumpulkan. Data dari dua regu dipilih secara acak untuk dianalisis secara terperinci oleh regu-regu yang mendapat
nilai di atas rata-rata. Sebagai tambahan, peneliti-peneliti melaksanakan
pengamatan atas 64% dari aktivitas kelas di dalam modul. Dua peneliti mengamati
periode kelas yang sama dan tetap serentak tetapi observasi mandiri. Data ini menyediakan dukungan tambahan untuk observasi-observasi yang lain.
Hasil-Hasil dan Interpretasi-interpretasi
Hasil-hasil itu dibagi sebagai berikut.
·
Di bagian pertama,
peneliti-peneliti meneliti dan membandingkan para siswa tingkatan tinggi dan
rendah berdasar pada hasil pre and post tes pengetahuan.
·
Di bagian yang kedua, keseluruhan penampilan
dari para siswa sehubungan dengan jenis kelamin, etnisitas, dan SES harus dilaporkan.
·
Di dalam bagian yang ketiga,
peneliti-peneliti menguraikan kepemilikan-kepemilikan dokumentasi regu dari dua
regu, satu yang digambar oleh para siswa tingkat tinggi dan satu dari para siswa tingkat
rendah. Inilah yang dilakukan untuk menyediakan suatu perspektif kualitatif
yang terperinci dari penampilan mereka di dalam lingkungan DBL.
Prestasi
Gambar
1 menyajikan hasil dari tes pengetahuan. Standar error bar menunjukkan
perbedaan yang signifikan (p <.05), meskipun mereka tidak tumpang tindih
(Finch & Cumming, 2005). Temuan ini menunjukkan bahwa DBL dapat mengurangi
kesenjangan prestasi , terutama antara minoritas dan siswa non- minoritas dan
atau antara SES rendah dan tinggi.
Gambar
2 menunjukkan perbandingan antara nilai tes pengetahuan siswa yang pemahaman
rendah dan siswa yang pemahamannya tinggi. Siswa yang pemahamannya tinggi
memperoleh nilai yang signifikan dalam post-test (t = 2,24, p <0,05), sementara
yang rendah mengalami peningkatan tetapi tidak signifikan (t = 1,49, p = 0,14).
Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa kurangnya kemampuan membaca menjadi
penyebab kegagalan dalam tes tertulis seperti ini (Silk, Schunn & Cary
Strand, 2007). Karena pelajar yang luas dikelompokkan ke dalam kelas-kelas menurut
hasil akademis sebelumnya, kemampuan membaca bisa menjelaskan perbedaan hasil
ini.
Gambar 1 Rata-Rata Hasil Tes Pengetahuan ( dengan Standar Error
bar) dirinci berdasarkan jenis kelamin, etniksitas dan SES
Gambar 2 Hasil Tes Pengetahuan ( Nilai Rata-rata dengan SE bar) –
low/high achievers
Gambar 3a dan 3b menunjukkan hasil penilaian teman
sebaya dan penilaian guru yang dilakukan di dalam kelas. Siswa yang pemahamannya
rendah memberikan nilai teman sebayanya lebih tinggi daripada siswa yang pemahamannya
tinggi. Secara sederhana siswa kelas pemahaman rendah lebih toleran.
Bagaimanapun juga, penilaian guru lebih mencerminkan keadaan siswa secara
keseluruhan. Selanjutnya, perbandingan penilaian teman sebaya dan penilaian
guru dengan hasil penelitian, secara umum siswa dengan pemahaman yang rendah
menunjukkan solusi alarm dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Satu-satunya
pengecualian untuk penemuan ini adalah criteria dari penggunaan model sistem
alarm. Berdasarkan penilaian guru, siswa dengan pemahaman yang lebih tinggi
lebih menganggap remeh dalam penggunaan model sistem alarm daripada siswa
dengan pemahaman rendah. Hal ini membuktikan bahwa tes pengetahuan tidak
menunjukkan gambaran tentang perbedaan antar kelas yang benar-benar akurat.
Gambar 3a Hasil Penilaian Presentasi ( Nilai Rata-rata dengan SE
bar)
Gambar 3b Penilaian Presentasi oleh Guru (Nilai Rata-rata dengan
SE bar)
Penilaian
Portofolio
Portofolio memberikan penilaian dalam menyelidiki kedalaman siswa
dalam merancang sebuah solusi. Satu portofolio diseleksi untuk mewakili siswa
yang pemahaman tinggi dan portofolio yang kedua dipilih untuk mewakili siswa
yang pemahamannya rendah. Kedua portofolio ini akan tersedia online secara
singkat setelah masalah ini dipublikasikan di http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/. Contoh portofolio ini diseleksi
berdasarkan pada tes pengetahuan dan catatan hasil penelitian. Secara detail portofolio ini menunjukkan bagaimanakah cara
pendekatan yang digunakan dalam fase yang berbeda dalam proses perancangan
dimulai dari awal sampai akhir.
“Oh, Snap, someone stole my stuff alarm” (“Oh-snap”)
adalah nama dari sistem alarm yang telah dipilih oleh satu kelompok yang
terdiri dari empat anak laki-laki untuk kemudian dikerjakan. Contoh yang kedua
menceritakan 1 kelompok yang terdiri dari tiga anak perempuan yang memilih
untuk mengerjakan “Medicine alarm” ( “Medicine” ). Berdasarkan nilai pre-test,
siswa dari kelompok “Medicine” sedikit di atas rata-rata dari kelompok siswa dengan
pemahaman tinggi. Siswa dari kelompok “Oh-snap” nilainya sedikit di bawah nilai
rata-rata dari kelompok siswa dengan pemahaman rendah. Langkah-langkah proses
yang siswa lakukan adalah :
Langkah 1 : Penggolongan dan Dokumen yang dibutuhkan
Satu tahapan penting dalam memikirkan perancangan
adalah untuk menyadari bahwa desain yang dibuat itu harus sesuai dengan
kebutuhan. Langkah awal ini digunakan siswa dalam menggolongkan beberapa
perbedaan kebutuhan di lingkungan mereka ( lihat gambar 4) untuk kebutuhan
tertentu, mereka membuat solusi yang mungkin, ide pusat dalam aktivitas ini
adalah untuk melibatkan seluruh siswa dalam aktivitas ini. Kebanyakan kasus,
semua siswa dalam kelompok menyumbangkan ide dalam transparansi. Kontribusi
lainnya adalah untuk memasukkan solusi alternative ke dalam ide yang telah
dimunculkan oleh anggota lain dalam tim.
Langkah 2 : Mengembangkan alat dan bahan yang diperlukan dalam
perancangan
Satu langkah penting dalam merancang sebuah solusi
yang baru adalah dalam menetapkan syarat-syarat agar solusinya sesuai dengan
kebutuhan.
Langkah 3 : Mengembangkan sebuah model Input/Output untuk desain
Pada langkah ini, kelompok menggambarkan masalah yang
terdapat dalam alarm menggunakan model sistem, kemudian menetapkan informasi,
energy, input materi serta akibat/efek positif dan negatifnya, membuat sebuah
modul sistem, digunakan siswa dalam mempertimbangkan pengaruh sistem alarm
mereka terhadap lingkungan. Dalam hal ini, pemahaman tentang hubungan
Input-Output dapat membantu siswa dalam memahami struktur sistem dari pandangan
yang luas.
Langkah 4 : Mengembangkan daftar Fungsi dari desain
Dalam langkah ini, siswa menetapkan fungsi yang
dibutuhkan sistem agar syarat-syaratnya dapat ditentukan.
Langkah 5 : Mengembangkan analisis sistem/subsistem dari desain
Dari daftar fungsi ini, kelompok membuat sebuah model
visual sub-sistem.
Langkah 6 : Mengembangkan acuan keputusan untuk seleksi antara
sekian banyak alternative solusi
Dalam hal ini, kelompok memiliki solusi untuk perbaikan
dan pembuatan desain lebih lanjut. Daftar alat-alat sebelumnya telah
dikelompokkan berdasarkan kriteria pemilihan solusi yang optimal.
Langkah 7 : Melanjutkan dokumentasi sampai pada mensketsa
Sketsa menunjukkan bagaimanakah mereka memikirkan
desainnya melebihi elemen-elemen elektronik.
Langkah 8 : Melanjutkan dokumentasi sampai pada merefleksikannya
dalam tabel
Refleksi tabel merupakan hal penting selama proses
perancangan. Membutuhkan siswa untuk merefleksikan tentang apa yang mereka
lakukan sebagai pengembang desain dapat membantu mereka dalam menghubungkan
pekerjaan yang telah mereka kerjakan sampai batas tertentu dan efektivitas
rencana selanjutnya. Refleksi tabel juga menunjukkan penggunaan konsep ilmiah
dalam proses desain. Sebagai contoh, banyak kelompok dalam kelas ini dan di
kelas lain menggunakan susunan paralel sebelum mencoba rangkaian seri. Mereka
menyebutkan dengan full connection ( hubungan yang erat kaitannya ). Dengan
menggunakan refleksi mereka berhasil mendapatkan pengalaman dalam membuat
rangkaian alarm.
Guru dalam workshop pengembangan profesi untuk proyek
mengalami kesulitan dalam memahami cara kerja rangkaian alarm dan mencari
pertolongan para ahli dan rekan mereka dalam bagaimana cara mengajar siswa
mereka. Mereka mempelajari bahwa banyak terdapat kesulitan dalam memahami
rangkaian yang berasal dari fakta bahwa rangkaian seri diajarkan lebih dulu
daripada rangkaian paralel di kelas. Hal ini bertolak belakang dengan
pemerintah untuk meningkatkan pemahaman.
Kedua kelompok portofolio yang terpilih memikirkan
hambatan listrik sebagai alat untuk mengatur suara pada bel listrik. Para
peneliti menuliskan bahwa kebanyakan dari guru yang pernah bekerja sama dalam
workshop pengembangan profesi tidak dapat memahami hal ini. Peran penting dari
para peneliti adalah untuk menyimpulkan bahwa pengalaman siswa agak berkembang
mengenai pemahamannya tentang fungsi resistor dalam rangkaian. Satu hal yang
tidak dimiliki oleh orang dewasa.
Langkah 9 : Refleksi proses akhir
Dalam tahapan ini, kelompok diminta untuk
merefleksikan seluruh proses perancangan. Dengan menggunakan dokumen dan
rangkaian sebelumnya, mereka meninjau ulang proses pembuatan dan menyiapkan
diri untuk menyajikan proses desain mereka secara lengkap di depan kelas.
Refleksi proses desain dari kelompok terakhir dikelompokkan dalam 6 tahapan
yang terdapat dalam PISCOE.
Tabel 2 membandingkan perbedaan yang mendasar dalam
dokumentasi untuk tahapan-tahapan dalam proses perancangan antara dua tim. Data
ini menyediakan semua perspektif tentang portofolio dari kelompok kelas dengan
prestasi rendah sampai kepada kelompok kelas dengan prestasi tinggi.
Tabel 2
Perbandingan dokumentasi antar kelompok untuk setiap 8 langkah
pada proses desain
Tahapan desain
|
Langkah aktual
|
Oh-snap (low)
|
Medicine (high)
|
Tujuan
Input
Pemilihan solusi
Operation
Evaluasi
|
Step 1 : kebutuhan
Step 2 : persyaratan
Step 3 : model sistem
Step 4 : fungsi
Step 5 : sub-sistem
Step 6 : matriks
Step 7 : rancangan
Step 8 : refleksi
Step 9 : refleksi akhir
|
Semua ide asli
11 persyaratan, hanya grup yang melewati tes sub-sistem
Dikenali dengan jelas hasil yang negatif
5 fungsi
Identifikasi sub-sistem
Evaluasi alternatif berdasarkan pada “Muse have requirement”
Beberapa rancangan sesuai
7 tabel refleksi perbedaan
Terdapat Sesuatu yang dicerminkan pada setiap tahap
|
Dua ide sama
10 persyaratan
Tidak dikenali dengan jelas hasil yang negatif
4 fungsi
2 fungsi sangat umum dan tidak unik dari spesifik alarm yang
mereka desain
Identifikasi alami sangat baik pada setiap sub-sistem mereka
Evaluasi alternatif berdasarkan pada semua persyaratan
Kebanyakan rancangan sesuai dengan jenis dari aspek of
“Medicine” alarm
Hanya 2 tabel
Hampir semua 2 kolom tanpa adanya refleksi
|
Dalam membandingkan kedua portofolio, beberapa observasi dapat
dibuat sebagai berikut :
·
Kelompok dengan prestasi
rendah menunjukkan pemikiran yang umum untuk 5 tahapan (tahap 1, 2, 4, 8, 9)
·
Kelompok dengan prestasi
rendah menunjukkan ide yang lebih baik untuk 4 tahapan (langkah 2, 3, 4, 6)
·
Kelompok dengan prestasi
tinggi menunjukkan pemikiran yang umum untuk 1 langkah (langkah 7)
·
Kelompok dengan prestasi
tinggi menunjukkan ide yang lebih baik untuk satu tahapan (langkah 5)
Dengan kata lain, terdapat pola umum (dengan pengecualian pada
sketsa) pada kelompok dengan prestasi rendah menunjukkan pemikiran yang
generative dan ide yang lebih baik dalam portofolio walaupun nilai
keseluruhannya lebih rendah dalam tes tertulis. Sedikit pengecualian dapat dijelaskan
dengan observasi kita bahwa kelompok “Medicine Alarm” sangat suka menggambar
dan membuat sketsa selama proses desain, sementara itu siswa dengan prestasi
rendah terlihat kurang tertarik dalam melakukan hal yang sama. Kedua tim ini
sangat tertarik oleh ide mereka selama sesi presentasi, mereka harus
diperingatkan untuk memperhatikan kelompok lain yang sedang presentasi, karena
mereka tetap bekerja sampai pada saat mereka harus presentasi.
Dengan demikian, modul pembelajaran berbasis desain bekerja lebih
baik dari perspektif guru dan siswa. Secara keseluruhan, siswa
mendemonstrasikan sebuah tahapan tingkat lanjut tentang dokumentasi. Perancah
demonstrasi haruslah tepat dan memiliki kemampuan dalam mendorong ide-ide dan
memberikan dorongan kerja. Siswa mengembangkan kemampuan dalam mepresentasikan
pekerjaan mereka. Secara signifikan kebanyakan siswa dapat melakukan berbagai
ide dalam berpikir generatif.
Pada akhirnya, guru menyatakan bahwa kelas yang tadinya dianggap
berprestasi rendah dapat menunjukkan kinerja tim yang tinggi sehingga kelas itu
dapat dikatakan menjadi kelas yang berprestasi tinggi.
Sebagai dukungan yang lebih lanjut dari perspektif guru dan para
observer menunjukkan bahwa kelas dengan prestasi rendah memiliki tingkat keaktifan
yang tinggi. Ketika observasi ini ditujukan kepada guru, guru menyetujui bahwa
siswa yang sebelumnya memiliki masalah dalam memperhatikan pelajaran di kelas
dan akhirnya dapat memberikan perhatian penuh selama menerapkan modul desain
alarm.
Rangkuman
Dalam pelajaran ini,
siswa diminta untuk membangun suatu teknik bentuk dasar, cara bekerja dalam tim
untuk memecahkan suatu rancangan masalah yang nyata, menurut tulisan tangan
sendiri merefleksikan proses teknik perancangan. Penemuan ini menunjukkan dua
aspek dalam pembalajaran, yaitu penggunaan dan prestasi. Penggunaan (
keikutsertaan ) berpotensi untuk menyoroti penampilan siswa bahwa metode
standar penilaiannya tidak nampak.
Prestasi
Berdasarkan
hasil tes pengetahuan, lebarnya rentang ( pada kurva ) menunjukkan peningkatan
pemahaman siswa tentang konsep kelistrikan. Secara khusus, hasil ini
menunjukkan bahwa Afrika-Amerika dan penurunan waktu makan siang siswa lebih
menguntungkan daripada yang lain. Hal ini sama dengan kami mengobservasi pretasi
tinggi antara Afrika-Amerika dan pengurangan waktu makan siang selama pelajaran
berlangsung. Perubahan antara kedua kelompok siswa ini menganjurkan bahwa
desain berbasis pembelajaran membantu seluruh siswa dan mengurangi kesenjangan
diantara mereka. Penemuan ini memperkuat penelitian sebelumnya dalam melihat
keuntungan dari DBL memahami konsep ilmiah.
Walaupun hasil dari tes
pengetahuan tidak menunjukkan perubahan yang bervariasi pada anak dengan
prestasi rendah dibandingkan dengan anak yang prestasinya tinggi. Penelitian
lain menunjukkan bahwa siswa dengan prestasi rendah memperoleh tingkat
pengetahuan yang sama dengan siswa yang berprestasi tinggi. Berdasarkan
penilaian dari teman sebaya dan penilaian dari guru, kita ketahui bahwa siswa
dengan prestasi rendah, kehadirannya lebih tinggi daripada presentasi nilai
siswa dengan prestasi tinggi.
Nampaknya tes
standarisasi, seperti tes pengetahuan digunakan dalam pembelajaran kali ini,
namun tes ini seharusnya tidak dijadikan satu-satunya alat untuk menilai siswa.
Observasi dan portofolio menunjukan bahwa siswa yang pemahamannya rendah
mencapai level pemahaman konsep ilmiah yangs ama meskipun gagal pada tes
tertulis. Contohnya tim “Oh-Snap” (dari kelas yang pemahamannya rendah)
mengatakan selama presentasi sistem alarm mereka “ Kami berhasil dalam
membangun model untuk sistem alarm kami ke tingkat tertentu.” Pernyataan ini
menjelaskan bahwa siswa telah menyadari bahwa sebenarnya sistem alarm hasil
kontruksi mereka itu memuaskan. Dalam lokakarya dan kelas lain, para peneliti
menemukan bahwa siswa dengan pemahaman tinggi diharuskan untuk menunggu
instruksi guru untuk mengetahui hal-hal yang selanjutnya harus dilakukan,
bagaimana melakukannya, komponen-komponen apa yang digunakan dll. Keteka
“Kebebasan untuk belajar” diberikan kepada siswa yang pemahamannya rendah
menjadikan mereka dapat menyesuaikan diri dalam proses pembelajaran dan
menjadikan mereka lebih kreatif. Modul learner-centered yang diimplementasikan
dalam pembelajaran ini, memungkinkan membantu mereka untuk mencapai tingkat
prestasi yang lebih tinggi. Penilaian harus menangkap hasil kreatifitas mereka
dan harus sensitive terhadap prestasi yang dicapai.
Engagement
Dari hasil
observasi aktifitas kelas dan dari hasil analisis siswa yang pemahamannya rendah
dibanding siswa yang pemahamannya tinggi memperkuat penelitian sebelumnya dan
menngangkat keuntungan proyek berdasarkan pembelajaran yang dimiliki (Barak,
Waks dan Doppelt, 2000 ; Doppelt 2003 ). Proyek berdasarkan pembelajaran di
lingkungan ilmu pengetahuan membutuhkan investigasi pendekatan baru untuk
mengevaluasi proses pembelajaran (Dori & Tol, 2000). Siswa-siswa yang
belajar menggunakan masalah yang mereka ciptakan, mengintegrasi sains,
teknolosi dan aspek-aspek lainnya mencapai level pemikiran yang membutuhkan
evaluasi kembali terhadap kurikulum tradisional (Barton, 1998) dan penilaian.
Penemuan kita
dan pengulangan di sekolah-sekolah lain tentang keuntungan-keuntungan dari
membiarkan siswa-siswa menyusun sirkuit-sirkuit tanpa secara formal mengajari
mereka tentang sirkuit seri dan parallel dan yang membutuhkan penelitian secara
lebih lanjut. Hal ini tidak berarti apa-apa ketika dari suatu pembelajaran
terbaru ditemukan bahwa hanya 51% siswa yang meyelesaikan pengantar University
Physics Coursemengerti konsep sirkuit seri dan hanya 18% mengerti konsep
parallel sirkuit (Aalst,2000). Berdasarkan temuan kita, para siswa lebih baik
mengerti sirkuit parallel ketika mereka secara tidak sengaja mengkontruksi
sirkuit mereka tanpa instruksi awal. Selain itu, mereka kurang mengerti tentang
sirkuit seri. Nampakntya, mengajar sirkuit seri di awal yang sudah biasa
dilakukan di kebanyakan kurikulum sains mengalami konstradiksi dengan prioritas
pengetahuan para siswa dan pemikiran alami. Penggunaan pengetahuan awal para
siswa dan eksplorasi bebas dalam rangka mengajari mereka konsep ilmiah mungkin
memiliki keuntungan dari mengikat beberapa siswa dalam proses pembelajaran dan
meningkatkan prestasi mereka. Penemuan ini menunjukan penelitian lebih lanjut
dibutuhkan dengan maksud mengexplor hal-hal yan menjadi metode terbaik untuk
mengajar sirkuit elektrik.
Lingkungan Pembelajaran
Berbasis Desain
Mengkombinasikan
alat-alat kuantitatif dan kualitatif dalam pembelajaran yang sama dapat
membantu peneliti untuk mendapatkan perspektif pada lingkungan belajar
(Fraser,1998 ; Fraser & Tobin, 1991). Temuan dari pembelajaran ini
menunjukan bahwa DBL memiliki potensi untuk meningkatkan semangat siswa untuk
belajar, sukses di kelas sains dan meningkatkan daya tarik siswa terhadap topic
sains. Bila kita mengikat siswa untuk menerapkan DBL dan mendorong siswa yang
pemahamannya rendah menjelaskan konsep ilmmiah pada level yang tidak pernah di
observasi oleh guru mereka. Selain itu, para siswa ikut serta dalam pengalaman
medalam dalam desain kegiatan dan pembuatan hasil teknologi yang bermakna
baik dari segi perspektif produk ataupun adri segi dokumentasi dan refleksi
perspektif. Jadi desain berbasis sains memiliki potensi untuk meningkatkan
pemahaman siswa akan sains tersebut (Fortus, et al.,2004)
Paper ini
menyajikan bagian dari pembelajaran yang lebih luas dari modul sistem alarm
yang telah diimplementasikan. Melalui observasi intensif di kelas dan melalui
diskusi dengan para guru, paper ini adalah seperti tahap awal penelitian untk
mempelajari akibat dari modul yang dikembangkan pada engagement dan prestasi.
Modul pembelajaran dan alat penelitian ditingkatkan dan diimplementasikan pada
tahun kedua. Dengan demikian, aplilkasi sebuah kurikulum baru dalam kolaborasi
para oeneliti dan para guru harus bisa memberikan kontribusi bagi keberhasilan
penemuan ini (Doppelt, Mehalik & Schunn, 2005;Zohar&Dori,2003)
Pengakuan
Penelitian ini
disponsori oleh hibah dari NSF (HER-0227016). Peneliti mengucapkan terima kasih
kepada Mr. Richard P. Mathews untuk terus mendukung pembelajaran ini.
Referensi
Aalst V.J. (2000). An Introduction
to Physics Education Research. Canadian
Barak, M., & Doppelt, Y.
(1999). Integrating the Cognitive Research Trust (CoRT) program for creative
thinking into a project-based technology curriculum. Research in Science &
Technological Education, 17(2), 139– 151.
Barak, M., & Doppelt, Y.
(2000). Using portfolios to enhance creative thinking. Journal of Technology
Studies, 26(2), 16–24.
Barak, M., Eisenberg, E. &
Harel O. (1995). “What’s in the calculator?” An introductory project for
technology studies, Research in Science & Technological Education. 12(2),
147-154.
Barak, M., & Maymon, T. (1998).
Aspects of teamwork observed in a technological task in junior high schools.
Journal of Technology Education, 9(2), 3-17.
Barak, M., Waks, S. & Doppelt,
Y. (2000). Majoring in technology studies at high school and fostering
learning. Learning Environment Research, 3(2), 135-158.
Barlex, D. (2005, April). The
centrality of designing – an emerging realisation from three curriculum
projects, In de Vries J. M. & Mottier I. (Eds.)
International hand book of technology
education: Reviewing the past twenty years, (pp. 253-260). Rotterdam, the
Netherlands: Sense Publishers.
Barton, A. C. (1998). Examining the
social and scientific roles of invention in science education, Research in
Science Education. 28(1), 133-151.
Blanchard, B. & Fabrycky, W. B.
(1998). Systems Engineering and Analysis. Prentice Hall.
Bonnstetter, J. R. (1998). Inquiry:
Learning from the past with an eye on the future". Electronic Journal of
Science Education, 3(1). Retrieved May 23, 2007, from
http://unr.edu/homepage/jcannon/ejse/bonnstetter.html
Bransford, D. J., Brown, L. A.,
& Cocking, R. R. (1999). How people learn: Brain, mind, experience, and
school. Washington, DC: Committee on Developments in the Science of Learning,
National Research Council,
National Academy Press.
Butcher, A.C. Stefanai L. A. J.
& Tariq V. N., (1995). Analysis of peer-, self-, and staff-assessment in
group project work. Assessment in Education, 2(2), 165-185.
Cumming, G., & Finch, S.
(2005). Inference by eye: Confidence intervals and how to read pictures of
data. American Psychologist, 60(2), 170-180.
De Bono, E. (1986). Co.R.T Thinking
Program (2nd) Ed. Oxford: Permannon Press.
De Vries, M. J. (1996). Technology
education: Beyond the “technology is applied science” paradigm. Journal of
Technology Education, 8(1), 7–15.
De Vries, M. J. (1997). Science,
technology and society: A methodological perspective. International Journal of
Technology and Design Education, 7, 21–32.
Denton, H. (1994). The role of
group/team work in design and technology: Some possibilities and problems. In:
Banks F. (Ed.), Teaching Technology (pp. 145-151). Routledge, London.
Dewey, J. (1916). Democracy and
education. The Free Press, New York.
Doppelt, Y. (2003). Implementing
and assessing project-based learning in a flexible environment. The
International Journal of Technology and Design Education, 13(3), 255–272.
Doppelt, Y. (2004). Impact of
science-technology learning environment characteristics on learning outcomes:
Pupils' perceptions and gender differences. Learning Environments Research,
7(3), 271–293.
Doppelt, Y. (2005). Assessment of
project-based learning in a Mechatronics’ context. Journal of Technology
Education, 16(1), 7–24.
Doppelt, Y. (2006). Teachers’ and
pupils’ perceptions of science–technology learning environments, Learning
Environment Research, 9 (2), 163-178.
Doppelt, Y. (2007, On-line first).
Assessing creative thinking in design-based learning. International Journal of
Technology and Design Education.
Doppelt, Y., & Barak, M.
(2002). Pupils identify key aspects and outcomes of a technological learning
environment. Journal of Technology Studies, 28(1), 12–18.
Doppelt, Y., Mehalik, M. M. &
Schunn, D. C. (2004). Electrical alarm system: design, construction, and
reflection. Learning Research and Development Center, University of Pittsburgh,
Pittsburgh, PA.
Doppelt, Y., Mehalik, M. M., &
Schunn, D. C. (2005, April). A close-knit collaboration between researchers and
teachers for developing and implementing a design-based science module. The
annual meeting of the National Association for Research in Science Teaching
(NARST), Dallas, TX.
Dori, I. & Tal, R. (2000).
Formal and informal collaborative projects: Engaging in industry with
environmental awareness. Science Education, 84, 95-113.
Dyer, R. R., Reed, A. P., &
Berry, Q. R. (2006). Investigating the relationship between high school
technology education and test scores for algebra 1 and geometry. Journal of
Technology Education, 17(2), 8–18.
Fortus, D., Dershimer, R.C., Marx,
R.W., Krajcik, J., & Mamlok-Naaman, R. (2004). Design-based science (DBS)
and student learning. Journal of Research in Science Teaching 41(10),
1081–1110.
Fraser, B. J. (1998). Science
learning environments: Assessment, effects, and determinates. In B. J. Fraser
& K. G. Tobin (Eds.), International handbook of science education (pp.
527–564). Dordrecht, The Netherlands: Kluwer.
Fraser, B. J., & Tobin, K.
(1991). Combining qualitative and quantitative methods in classroom environment
research. In B. J. Fraser & H. J.
Walberg (Eds.), Educational
environments: Evaluation, antecedents, and consequences (pp. 271–290). Oxford,
UK: Pergamon Press.
Gardner, H. (1991). The unschooled
mind. New York: Basic Books.
Gardner, H. (1993). Multiple
intelligences/the theory to practice. New York: Basic Books.
Gibson, E. J. (1968). Introduction
to engineering design. New York: Holt, Rhinehart, and Winston.
Hill, A. M. & Smith, H. A.
(1998). Practice meets theory in technology education: A case of authentic
learning in the high school setting. Journal of Technology Education, 9(2),
29-45.
Kolb, D. A. (1985). Learning Styles
Inventory. Boston: McBer and Company.
Kolodner, J. L., Crismond, D.,
Gray, J., Holbrook, J., & Puntambekar, S. (1998). Learning by Design from
theory to practice. Proceedings of the International Conference of the Learning
Sciences (ICLS 98), (pp. 16-22). Charlottesville, VA: AACE.
Kolodner, L. J. (2002).
Facilitating the learning of design practices: Lessons learned from inquiry
into science education. Journal of Industrial Teacher Education, 39(3).
Lazarowitz, R., Hertz-Lazarowitz,
R., & Baird J. H. (1994). Learning in a cooperative setting: Academic
achievement and affective outcomes. Journal of Research in Science Teaching, 31,
1121–1131.
McCormick, R. & Murphy, P.
(1994). Learning the processes in technology. Paper presented to the Annual
Conference of British Educational Research Association, Oxford University,
England.
Mehalik, M. M., & Doppelt, Y.,
& Schunn, C. D. (2008). Middle-school science through design-based learning
versus scripted inquiry: Better overall science concept learning and equity gap
reduction. Journal of Engineering Education, 97(1), 71-85.
National Research Council (1996).
National Science Education Standards, National Academy Press, Box 285, 2101
Constitution Avenue, N.W., Washington, D.C. 20055
Papert, S. (1980). Mindstorms,
children, computers and powerful ideas. Basic Books Inc., New York.
Penner, E. D. (2001). Complexity,
emergence, and synthetic models in science education. In: K. Crowley, C. D.
Schunn, & T. Okada (Eds.) Designing for Science, Mahwah, NJ: Lawrence
Earlbaum Associates.
Perkins, N. D. (1992). Technology
meets constructivism: Do they make a marriage? In T. M. Duffy & H. D.
Jonassen (Eds.), Constructivism and technology of instruction: A conversation
(pp. 45–55). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Prince, M. (2004). Does active
learning work? A review of the research. Journal of. Engineering Education,
93(3), 223-231
Ritz, J. & Reed, A. P. (2005,
April). Technology education and the influences of research: A United States
perspective, 1985-2005, In de Vries J. M. & Mottier I. (Eds.) International
hand book of technology education:
Reviewing the past twenty years,
(pp. 113-124). Rotterdam, the Netherlands: Sense Publishers.
Resnick, M. & Ocko, S. (1991).
LEGO/Logo: Learning through and about design, In: Harel I. & Papert S.
(Eds.), Constructionism, (pp.141-150). New Jersey: Ablex Publishing Corporation
Norwood.
Rivet, E. A. & Krajcik, S. J.
(2004). Achieving standards in urban systematic reform: An example of a sixth
grade project-based science curriculum. Journal of Research in Science
Teaching, 41(7), 669-692.
Sanders, M. E. (2000). Web-based
portfolios for technology education: A personal case study. Journal of
Technology Studies, 26(1), 11-18.
Silk, E. M., Schunn, C. D., and
Strand Cary, M. (2007). The impact of an engineering design curriculum on
science reasoning in an urban setting. Proceedings of the National Association
for Research in Science Teaching,
New Orleans, LA, United States.
Sternberg, J. R. (1998). Teaching
and assessing for successful intelligence. The School Administrator, 55(1),
26–31.
Verner, M. I & Hershko , E.
(2003). School graduation project in robot design: A case study of team
learning experiences and outcomes. Journal of Technology Education, 14(2),
40–55.
Waks, S. (1995). Curriculum design:
From an art towards a science. Hamburg, Germany: Tempus Publications.
Wiggins, G. & McTighe, J.
(1998). Understanding by design. Merrill Education/ASCD College Textbook
Series, ACSD, Alexandria, Virginia.
Yager, R. E. (1996).
Science/technology/society: As reform in science education. Albany, NY: State
University of New York Press.
Zohar, A., & Dori, Y. J.
(2003). Higher order thinking skills and low achieving students – are they
mutually exclusive? Journal of the Learning Sciences, 12, 145–182.