SELAMAT DATANG Semoga blog ini bermanfaat bagi anda

Rabu, 26 Desember 2018

Studi Kasus dari Pembelajaran Yang Berbasis Desain pada Ilmu pengetahuan

Oleh

Yaron Doppelt, Matius M.Mehalik,  Kristen D.Schunn, Eli Sutera, dan Denis Krysinski

Pendahuluan
Oleh
Tujuan yang utama dari pembaharuan pendidikan ilmu pengetahuan adalah untuk menghasilkan kurikulum yang memperbaiki pembelajaran semua siswa. Di dalam studi ini, kita menyelidiki pemakaian pembelajaran yang berbasis desain untuk mencapai tujuan ini. Tidak seperti mayoritas negara-negara yang terindustrialisasi di dunia, K-12 pendidikan di US. memberikan perhatian yang sangat kecil di desain dan teknologi. Pendidikan Desain dan teknologi bukan suatu subyek yang diperlukan di sekolah menengah pada kebanyakan sekolah. Bahkan di tingkatan sekolah menengah, pendidikan Desain dan teknologi pada umumnya adalah satu subyek pilihan dan tidak ditawarkan di semua sekolah (Dyer, Reed & Berry, 2006).
Sebaliknya,di US. Sekolah keteknikan sedang memberikan lebih banyak perhatian pada kerjasama, ketrampilan-ketrampilan proses desain, dan konstruksi langsung. Untuk ini dan pertimbangan lain, berbagai standar ilmu pengetahuan sedang mulai didorong untuk berperan lebih serius pada desain dan teknologi di dalam kurikulum K-12. Namun Ilmu pengetahuan yang ada di kurikulum K-12 belum menangkap, dan perlakuan pada desain dan teknologi pada umumnya lemah. Kebanyakan kurikulum ilmu pengetahuan kekurangan latar belakang desain di luar subyek-subyek  teknologi informasi (IT) (De Vries, 1997).
            Ada suatu pengembangan yang baru, dengan nama Design-Based Learning (DBL), yang sedang mencoba untuk membahas masalah ini (Kolodner, et al., 1998; Rivet &Krajcik, 2004). Proses desain itu adalah beraneka segi dan kaya dan boleh jadi mampu menghasilkan pengetahuan baru dengan cara yang sejalan dengan proses pemeriksaan yang ilmiah. Selanjutnya, apakah DBL itu dan bagaimana DBL berhubungan dengan proses inkuiry ilmiah?
Inkuiry adalah suatu keaktifan yang beraneka segi yang melibatkan pembuatan observasi-observasi; bersifat pertanyaan-pertanyaan; penyelidikan-penyelidikan perencanaan; peninjauan ulang tentang apa yang telah diketahui untuk memecahkan bukti eksperimental; menggunakan peralatan untuk berkumpul, meneliti, dan menginterpretasikan data; pengusulan jawaban, penjelasan-penjelasan, dan perkiraan serta berkomunikasi mengenai hasil-hasil. (Dewan Penelitian Nasional National Research Council,  1996,p.23).
Doppelt (yaron@pittedu) adalah dosen Sakhnin Academic College for Teacher Education, Israel.  Christian D. Schunn (schunn@pittedu) adalah seorang Research Scientist pada Learning Research and Development Center dan Associate Profesor of Psychology,  Matthew M. Mehalik (mmehalik@pittedu) adalah salah satu anggota Adjunct Faculty in Freshman Programs di the School of Engineering, dan Eli Silk (esilk@pitted) adalah seorang siswa lulusan Universitas Pittsburgh.  Denis Krysinski (dkrysinski1@pghboenet) adalah seorang guru pada Greenfield School di Pittsburgh.
Meskipun definisi inkuiry, kebanyakan dari kurikulum ilmu pengetahuan yang diterapkan di sekolah-sekolah AS menggunakan scripted-inquiry dibanding authentic inkuiry. Di dalam naskah inkuiry, para guru menetapkan tujuan, memberikan pertanyaan-pertanyaan, menyediakan bahan-bahan, menyediakan prosedur-prosedur, dan mendiskusikan dengan para siswa  hasil-hasil yang ,  "benar" dan kesimpulan "yang benar" (Bonnstetter, 1998).
Sebagai pembanding, DBL menyediakan alasan untuk belajar isi ilmu pengetahuan dengan melibatkan siswa di dalam desain dan menggunakan tempat peristiwa yang berguna dan alami (wajar) untuk belajar ketrampilan-ketrampilan ilmu pengetahuan dan desain. Sifat yang kolaboratif dari desain menyediakan peluang untuk kelompok kerjasama (Kolodner, 2002). DBL memungkinkan para siswa untuk membuat konstruksi dari konsep-konsep teori sebagai hasil perancangan dan membuat individu, yang berdayacipta, dan proyek-proyek kreatif, untuk memulai proses pelajaran yang sesuai dengan pilihan mereka sendiri, gaya-gaya belajar, dan berbagai ketrampilan-ketrampilan. Itu juga membantu guru dalam menciptakan suatu masyarakat perancang yang bekerjasama dalam kelompok ( Barak &Maymon, 1998; Doppelt, 2005; Resnick & Ocko, 1991). Dengan cara ini, siswa menggabungkan aktivitas "langsung" dengan apa yang Papert (1980) sudah sebutkan sebagai aktivitas "heads-in". Ketika para siswa menciptakan proyek-proyek, mereka mengalami pelajaran yang berguna  yang memungkinkan pelatihan gagasan-gagasan yang canggih yang dibangun dari proyek-proyek mereka sendiri ( Doppelt & Barak, 2002). Sebagai tambahan untuk menyediakan para siswa terhadap suatu pemahaman yang kaya mengenai desain dan teknologi, DBL dapat mempunyai beberapa keuntungan-keuntungan yang lain. Pertama-tama, karena desain yang baik melibatkan arus dan kebutuhan-kebutuhan riil, para siswa termotivasi untuk belajar karena penerapan pengetahuan semakin jelas nyata dalam situasi-situasi kehidupan. (Doppelt, 2003; Hill & Smith, 1998). Ke dua, DBL adalah satu proses yang aktif dan mempunyai semua keuntungan dari pelajaran yang aktif. Pelajaran aktif adalah suatu pendekatan bidang pendidikan yang menempatkan para siswa di pusat proses pembelajaran dan mengenali variasi gaya-gaya pembelajaran yang berbeda (Dewey, 1916; Gardner, 1993; Kolb, 1985; Perkins, 1992; Sternberg, 1998). Pelajaran aktif mengubah peran guru dari pemberi ceramah/ dosen menjadi guru privat, pemandu, dan mitra di dalam proses pembelajaran (Prince, 2004). Pengetahuan yang diperoleh melalui pelajaran aktif adalah pengetahuan bersifat membangun dan bukan tipe dari pengetahuan yang bersifat dihafalkan dan mengerjakan latihan-latihan atau pekerjaan rumah dari buku (Gardner, 1991). Ketiga, DBL dikhususkan pada sebuah aktivitas tim, dan mempunyai keuntungan-keuntungan dari pelajaran yang kolaboratif. Para siswa yang sudah berhasil berprestasi mempelajari metoda-metoda kerjasama di akademis dan prestasi non-akademis (Lazarowitz, Hertz-Lazarowitz &Baird, 1994, Verner &Hershko, 2003). Bekerja di dalam regu-regu menghasilkan suatu nomor dan variasi gagasan yang lebih besar dibanding dengan kerja di dalam pengasingan (Denton 1994). Suatu lingkungan pelajaran yang  mengizinkan kerjasama kelompok dapat membantu para siswa  mengembangkan ketrampilan-ketrampilan komunikasi antar pribadi mereka, ketrampilan-ketrampilan presentasi, dan ketrampilan-ketrampilan pemecahan masalah (Butcher,  Stefanai & Tariq, 1995; Doppelt, 2004; 2006).
Pada waktu yang sama, DBL menyajikan berbagai kesulitan baru untuk pelajaran siswa, terutama di dalam situasi performa yang rendah di pendidikan ilmu pengetahuan K-12. Banyak guru AS mempunyai persiapan yang lemah dalam ilmu pengetahuan, tetapi bahkan lebih lemah di dalam desain ( Ritz & Reed, 2005). DBL bisa memotivasi para siswa, tetapi sifat yang terbuka dari desain bisa meninggalkan penerimaan yang rendah pada siswa. Ini pasti kasus ketika para guru mencoba proyek-proyek desain yang besar. Tugas tentang isi ilmu pengetahuan, proses desain, dan ketrampilan-ketrampilan kerjasama kelompok bisa terlalu banyak membebani teori untuk para siswa yang penerimaannya rendah. Proses desain itu paralel untuk memecahkan permasalahan dan mempunyai suatu struktur yang umum yang pada umumnya termasuk langkah-langkah seperti: melukiskan masalah dan mengidentifikasi kebutuhan, pengumpulan informasi, memperkenalkan penyelesaian alternatif, pemilihan pemecahan optimal, merancang dan membangun suatu prototipe, dan evaluasi.
Bagaimanapun, proses desain sudah dikritik oleh peneliti-peneliti yang sudah mengklaim bahwa sulit untuk digunakan para murid dan bahkan oleh para guru untuk belajar bagaimana caranya menggunakannya ( McCormick & Murphy, 1994). Untuk menghindari mengajar suatu proses desain yang umum dapat menjadi kaku, itu sudah dibantah adalah penting bahwa para guru membantu para murid di dalam mengintegrasikan pengetahuan dari ilmu pengetahuan dan disiplin-disiplin lain ke dalam pemikiran desain mereka (De Vries, 1996). Ini tidak sebaiknya atau bahkan penting bahwa para murid membangun gagasan mereka, solusi-solusi dan hasil-hasil yang mengikuti suatu himpunan yang spesifik dari langkah-langkah proses desain. Apa penting untuk mengajari mereka mendokumentasikan dengan baik dan belajar untuk mencerminkan pada kreasi mereka (Sanders, 2000; Doppelt, 2007).
Paper ini menyelidiki isu-isu pada suatu studi kasus yang berkenaan dengan kota, publik, sekolah menengah di lingkungan pendapatan rendah. Kita menguji dua kelas ilmu pengetahuan di sekolah menengah yang diajar oleh seorang guru yang mengubah suatu standar untuk pertama kali, pendekatan naskah inkuiry menjadi suatu pendekatan pelajaran yang berbasis desain.
Peneliti-peneliti terutama sekali tertarik akan dua pertanyaan. Pertama, akankah para siswa yang pemahaman sebelumnya tinggi dan low-achievers menjadi sama ditautkan oleh DBL? Ke dua, akankah kesenjangan tradisional di dalam prestasi ilmu pengetahuan berhubungan dengan race/ethnicas, jenis kelamin, dan status ekonomi-sosial ditingkatkan atau dikurangi?
Bekerja di luar US. disarankan hasil-hasil positif bersifat  mungkin ( Barak & Doppelt,1999, 2000; Barak, Eisenberg, & Harel, 1995; Barlex, 1994; Prince, 2004). Tetapi ketiadaan sejarah dengan DBL di dalam AS itu bisa menghasilkan hasil-hasil yang berbeda, seperti socio-cognitive pendidikan berkenaan dengan kota. US.

Metoda-metoda
Konteks Distrik Utama
Di dalam penelitian ini, kita memulai satu studi kasus yang mendalam tentang penambahan pendidikan ilmu pengetahuan melalui pelajaran yang berbasis desain. Sebelum studi ini, peneliti-peneliti (ke tiga pengarang-pengarang yang pertama) mendapatkan suatu kesenjangan antara keadaan dan standar ilmu pengetahuan lokal dan lingkungan pelajaran yang sedang digunakan di dalam distrik ini. Kesenjangan antara standar dan implementasi lingkungan pelajaran yang ada terutama sekali memiliki kekurangan proses desain. Standar spesifik yang sedang dilalaikan adalah:
(1) mengetahui dan menggunakan proses desain secara teknologi untuk memecahkan suatu masalah,  dan (2) Menjelaskan bagian-bagian suatu sistem sederhana dan hubungan antara satu sama lain.
Peneliti-peneliti memulai beberapa interaksi-interaksi dengan personil di dalam bagian distrik divisi pembelajaran. Melalui diskusi-diskusi dengan koordinator dan tutor pembelajran distrik, kelompok menyetujui bahwa suatu model yang berbasis desain akan bermanfaat bagi instruksi yang sedang berlangsung di dalam kelas-kelas ilmu pengetahuan kelas delapan, terutama sekali dalam modul setengah tahun yang disertai pengajaran konsep-konsep kelistrikan dan elektronika. Instruksi utama yang digunakan di dalam modul elektronika ini menekankan suatu pendekatan scripted-inquiry (yaitu., para siswa diberitahu persisnya bagaimana caranya melakukan masing-masing prosedur-prosedur kegiatan dengan pemeriksaan langkah-demi-langkah dan lembar kerja).

Kurikulum Desain
Untuk memasukkan pemikiran desain dan sistem teknologi, kita mengembangkan suatu modul pembelajaran yang baru, suatu proses dari pelatihan guru, dan suatu rencana untuk implementasi di dalam kurikulum ilmu pengetahuan yang teratur. Hasil modul, Sistem alarm Listrik: Desain, Konstruksi, dan Reflection (Doppelt, Mehalik & Schunn, 2004), tertata menurut suatu variasi kerangka pemikiran kreatif (De Bono, 1986) yang berlaku untuk desain. Komponen-komponen kerangka itu adalah: Tujuan, Masukan, Solusi-solusi, Pilihan, Pelaksanaan, dan evaluasi  Purpose, Input, Solutions, Choice, Operations, and Evaluation (PISCOE).
Modul mencakup modus-modus dari pemikiran desain seperti kebutuhan-kebutuhan, persyaratan-persyaratan, solusi-solusi pembangkit, dan membuat keputusan-keputusan, seperti itu mengikuti suatu proses serupa dengan cara insinyur-insinyur mendisain sistem baru. Tidak ada konsep yang menerangkan sampai pada suatu kebutuhan para siswa untuk dilakukan, dan hanya setelah suatu periode di mana para siswa sendiri mencoba konsep. Para Siswa dan para guru mengikuti sistem pendekatan disain (Gibson 1968; Blanchard & Fabrycky 1998) selama 4 -5 minggu implementasi.

Para siswa belajar tentang: (1) Sistem alarm -di mana mereka dapat ditemukan, pertimbangan sistem seperti itu ada, bagaimana mereka bekerja, dan bagaimana caranya membangun sistem yang demikian; (2) Sistem dan subsistem teknologi, beserta tujuan-tujuan dari sistem; (3) Membangun satu sistem alarm untuk mempelajari komponen-komponen elektronik dapat diterapkan di dalam mengembangkan sistim yang demikian; (4) Pengungkapan pendapat, berkomunikasi, dokumen, bekerja di dalam regu-regu, dan merancang teknologi sistem untuk memecahkan permasalahan; 5)Mengembangkan kriteria untuk menaksir proses desain; 6) Mengevaluasi disain alternatif sebagai solusi-solusi masalah;  dan 7) Menrefleksikan proses desain.

Peserta-peserta
Di dalam studi ini, kita menguji implementasi modul dengan tiga puluh delapan siswa dalam dua kelas IPA. Masing-masing kelas bertemu selama satu jam, lima hari per minggu. Para siswa itu murid kelas delapan (tiga belas sampai empat belas tahun usia) di suatu sekolah negeri pertengahan dalam satu distrik kota. Guru mempunyai tingkat master dan tiga puluh tahun pengalaman di dalam mengajar ilmu pengetahuan di sekolah dasar dan sekolah menengah. Satu kelas dipertimbangkan oleh sekolah tersebut untuk menjadi kelas low-level. Kelas yang lain dianggap sebagai suatu kelas yang tingkat tinggi (lihat Table 1). Sekolah tersebut menugaskan para siswa masuk  kelas-kelas berdasar pada prestasi-prestasi sebelumnya secara menyeluruh di bermacam subyek (eg., ilmu pengetahuan, matematika, bahasa Inggris, dll.) di dalam tahun pelajaran yang utama.

 Tabel 1
Etnisitas, jenis kelamin, dan socio-economical status para siswa pada  kedua kelas.
                                                            Low Achievers class
                                                                      ( n = 22)
High Achievers class
( n =16)
% Minority
41
25
% Male
55
38
% Low SES
50
50

            Berdasarkan pada tahun sebelumnya dengan para siswa secara umum dan dua kelas pelaporan yang utama dari para siswa tertentu, instruktur mengharapkan kelas pemahaman rendah untuk melaksanakan lebih sedikit kegiatan di dalam kelas ilmu pengetahuan.
Banyaknya para siswa yang bebas atau harga makan siang yang dikurangi digunakan untuk menentukan Socio-Economic Status (SES) dilaporkan di Tabel 1. Sejumlah variabel-variabel digunakan untuk menentukan hal yang memenuhi syarat untuk makan siang ini dan termasuk pendapatan, pembayaran-pembayaran kesejahteraan, ukuran keluarga, dan jumlah dari anak-anak di sekolah. Variabel ini sebagai satu indikator dari SES pada umumnya suatu peramal yang kuat dari penampilan siswa di dalam ilmu pengetahuan di AS.

Pengumpulan Data dan Analisis
Untuk mengembangkan satu pemahaman yang mendalam perikatan dan prestasi siswa di seting ini, kita menganalisa tiga sumber data:
1. Tes Pengetahuan Knowledge Test (KT)
Peneliti-peneliti secara rinci membuat tes pengetahuan dengan tujuh pertanyaan multiple-choice yang dirancang berdasarkan konsep-konsep kelistrikan, seperti hambatan, arus, tegangan, dan rangkaian seridan paralel. Inilah yang dilaksanakan di dalam program untuk memastikan bahwa semua konsep yang sebelumnya telah diajarkan oleh distrik akan tercakup dalam tes pengetahuan (Mehalik, Doppelt, & Schunn, 2008). Siswa diberi sebuah pre-test dan sebuah posttest untuk mengukur perubahan perkembangan pengetahuan mereka tentang konsep-konsep kelistrikan. Ada dua versi, yang ditugaskan kepada masing-masing siswa secara acak. Pre-test dilaksanakan sebelum modul diberikan. Post-test dilakukan setelah pertemuan terakhir dari modul lima minggu.
2. Penilaian Presentasi Lisan (Oral Presentation Assessment)
Setelah kelompok menyelesaikan masing-masing bagian modul pelajaran, transparansi digunakan untuk menunjukkan kemajuan mereka di kelas. Di akhir modul pelajaran, masing-masing regu diwajibkan untuk menyajikan seluruh desain dan membangun proses. Penilaian guru dan penilaian teman sebaya dilaksanakan untuk masing-masing presentasi-presentasi regu ini. Keduanya, para guru dan teman sebaya menggunakan empat kriteria yang sama untuk menilai masing-masing presentasi kelompok: pengetahuan informasi, penjelasan dari tiap jenis, penggunaan dari model sistem alarm, dan penggunaan dari transparansi. Guru dan masing-masing siswa mengumpulkan nilai penampilan dari tiap presentasi-presentasi regu dengan skala  5 (mmuaskan) sampai 1 (yang tak memuaskan).
3. Analisis dari portofolio siswa
Tiga puluh delapan portofolio siswa dan dokumentasi regu terdiri dari dua belas himpunan transparansi presentasi dikumpulkan. Data dari dua regu dipilih secara acak untuk dianalisis secara terperinci oleh regu-regu yang mendapat nilai di atas rata-rata. Sebagai tambahan, peneliti-peneliti melaksanakan pengamatan atas 64% dari aktivitas kelas di dalam modul. Dua peneliti mengamati periode kelas yang sama dan tetap serentak tetapi observasi mandiri. Data ini menyediakan dukungan tambahan untuk observasi-observasi yang lain.

Hasil-Hasil dan Interpretasi-interpretasi
Hasil-hasil itu dibagi sebagai berikut.
·         Di bagian pertama, peneliti-peneliti meneliti dan membandingkan para siswa tingkatan tinggi dan rendah berdasar pada hasil pre and post tes pengetahuan.
·         Di bagian yang kedua, keseluruhan penampilan dari para siswa sehubungan dengan jenis kelamin, etnisitas, dan SES harus dilaporkan.
·         Di dalam bagian yang ketiga, peneliti-peneliti menguraikan kepemilikan-kepemilikan dokumentasi regu dari dua regu, satu yang digambar oleh para siswa tingkat tinggi dan satu dari para siswa tingkat rendah. Inilah yang dilakukan untuk menyediakan suatu perspektif kualitatif yang terperinci dari penampilan mereka di dalam lingkungan DBL.

Prestasi
Gambar 1 menyajikan hasil dari tes pengetahuan. Standar error bar menunjukkan perbedaan yang signifikan (p <.05), meskipun mereka tidak tumpang tindih (Finch & Cumming, 2005). Temuan ini menunjukkan bahwa DBL dapat mengurangi kesenjangan prestasi , terutama antara minoritas dan siswa non- minoritas dan atau antara SES rendah dan tinggi.
Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara nilai tes pengetahuan siswa yang pemahaman rendah dan siswa yang pemahamannya tinggi. Siswa yang pemahamannya tinggi memperoleh nilai yang signifikan dalam post-test (t = 2,24, p <0,05), sementara yang rendah mengalami peningkatan tetapi tidak signifikan (t = 1,49, p = 0,14). Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa kurangnya kemampuan membaca menjadi penyebab  kegagalan dalam tes tertulis seperti ini (Silk, Schunn & Cary Strand, 2007). Karena pelajar yang luas dikelompokkan ke dalam kelas-kelas menurut hasil akademis sebelumnya, kemampuan membaca bisa menjelaskan perbedaan hasil ini.

Gambar 1 Rata-Rata Hasil Tes Pengetahuan ( dengan Standar Error bar) dirinci berdasarkan jenis kelamin, etniksitas dan SES
Gambar 2 Hasil Tes Pengetahuan ( Nilai Rata-rata dengan SE bar) – low/high achievers

            Gambar 3a dan 3b menunjukkan hasil penilaian teman sebaya dan penilaian guru yang dilakukan di dalam kelas. Siswa yang pemahamannya rendah memberikan nilai teman sebayanya lebih tinggi daripada siswa yang pemahamannya tinggi. Secara sederhana siswa kelas pemahaman rendah lebih toleran. Bagaimanapun juga, penilaian guru lebih mencerminkan keadaan siswa secara keseluruhan. Selanjutnya, perbandingan penilaian teman sebaya dan penilaian guru dengan hasil penelitian, secara umum siswa dengan pemahaman yang rendah menunjukkan solusi alarm dengan tingkat kinerja yang lebih tinggi. Satu-satunya pengecualian untuk penemuan ini adalah criteria dari penggunaan model sistem alarm. Berdasarkan penilaian guru, siswa dengan pemahaman yang lebih tinggi lebih menganggap remeh dalam penggunaan model sistem alarm daripada siswa dengan pemahaman rendah. Hal ini membuktikan bahwa tes pengetahuan tidak menunjukkan gambaran tentang perbedaan antar kelas yang benar-benar akurat.
Gambar 3a Hasil Penilaian Presentasi ( Nilai Rata-rata dengan SE bar)

Gambar 3b Penilaian Presentasi oleh Guru (Nilai Rata-rata dengan SE bar)

Penilaian Portofolio
Portofolio memberikan penilaian dalam menyelidiki kedalaman siswa dalam merancang sebuah solusi. Satu portofolio diseleksi untuk mewakili siswa yang pemahaman tinggi dan portofolio yang kedua dipilih untuk mewakili siswa yang pemahamannya rendah. Kedua portofolio ini akan tersedia online secara singkat setelah masalah ini dipublikasikan di  http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JTE/. Contoh portofolio ini diseleksi berdasarkan pada tes pengetahuan dan catatan hasil penelitian. Secara detail portofolio ini menunjukkan bagaimanakah cara pendekatan yang digunakan dalam fase yang berbeda dalam proses perancangan dimulai dari awal sampai akhir.
            “Oh, Snap, someone stole my stuff alarm” (“Oh-snap”) adalah nama dari sistem alarm yang telah dipilih oleh satu kelompok yang terdiri dari empat anak laki-laki untuk kemudian dikerjakan. Contoh yang kedua menceritakan 1 kelompok yang terdiri dari tiga anak perempuan yang memilih untuk mengerjakan “Medicine alarm” ( “Medicine” ). Berdasarkan nilai pre-test, siswa dari kelompok  “Medicine” sedikit di atas rata-rata dari kelompok siswa dengan pemahaman tinggi. Siswa dari kelompok “Oh-snap” nilainya sedikit di bawah nilai rata-rata dari kelompok siswa dengan pemahaman rendah. Langkah-langkah proses yang siswa lakukan adalah :
Langkah 1 : Penggolongan dan Dokumen yang dibutuhkan
            Satu tahapan penting dalam memikirkan perancangan adalah untuk menyadari bahwa desain yang dibuat itu harus sesuai dengan kebutuhan. Langkah awal ini digunakan siswa dalam menggolongkan beberapa perbedaan kebutuhan di lingkungan mereka ( lihat gambar 4) untuk kebutuhan tertentu, mereka membuat solusi yang mungkin, ide pusat dalam aktivitas ini adalah untuk melibatkan seluruh siswa dalam aktivitas ini. Kebanyakan kasus, semua siswa dalam kelompok menyumbangkan ide dalam transparansi. Kontribusi lainnya adalah untuk memasukkan solusi alternative ke dalam ide yang telah dimunculkan oleh anggota lain dalam tim.
Langkah 2 : Mengembangkan alat dan bahan yang diperlukan dalam perancangan
            Satu langkah penting dalam merancang sebuah solusi yang baru adalah dalam menetapkan syarat-syarat agar solusinya sesuai dengan kebutuhan.
Langkah 3 : Mengembangkan sebuah model Input/Output untuk desain
            Pada langkah ini, kelompok menggambarkan masalah yang terdapat dalam alarm menggunakan model sistem, kemudian menetapkan informasi, energy, input materi serta akibat/efek positif dan negatifnya, membuat sebuah modul sistem, digunakan siswa dalam mempertimbangkan pengaruh sistem alarm mereka terhadap lingkungan. Dalam hal ini, pemahaman tentang hubungan Input-Output dapat membantu siswa dalam memahami struktur sistem dari pandangan yang luas.
Langkah 4 : Mengembangkan daftar Fungsi dari desain
            Dalam langkah ini, siswa menetapkan fungsi yang dibutuhkan sistem agar syarat-syaratnya dapat ditentukan.
Langkah 5 : Mengembangkan analisis sistem/subsistem dari desain
            Dari daftar fungsi ini, kelompok membuat sebuah model visual sub-sistem.
Langkah 6 : Mengembangkan acuan keputusan untuk seleksi antara sekian banyak alternative solusi
            Dalam hal ini, kelompok memiliki solusi untuk perbaikan dan pembuatan desain lebih lanjut. Daftar alat-alat sebelumnya telah dikelompokkan berdasarkan kriteria pemilihan solusi yang optimal.
Langkah 7 : Melanjutkan dokumentasi sampai pada mensketsa
            Sketsa menunjukkan bagaimanakah mereka memikirkan desainnya melebihi elemen-elemen elektronik.
Langkah 8 : Melanjutkan dokumentasi sampai pada merefleksikannya dalam tabel
            Refleksi tabel merupakan hal penting selama proses perancangan. Membutuhkan siswa untuk merefleksikan tentang apa yang mereka lakukan sebagai pengembang desain dapat membantu mereka dalam menghubungkan pekerjaan yang telah mereka kerjakan sampai batas tertentu dan efektivitas rencana selanjutnya. Refleksi tabel juga menunjukkan penggunaan konsep ilmiah dalam proses desain. Sebagai contoh, banyak kelompok dalam kelas ini dan di kelas lain menggunakan susunan paralel sebelum mencoba rangkaian seri. Mereka menyebutkan dengan full connection ( hubungan yang erat kaitannya ). Dengan menggunakan refleksi mereka berhasil mendapatkan pengalaman dalam membuat rangkaian alarm.
            Guru dalam workshop pengembangan profesi untuk proyek mengalami kesulitan dalam memahami cara kerja rangkaian alarm dan mencari pertolongan para ahli dan rekan mereka dalam bagaimana cara mengajar siswa mereka. Mereka mempelajari bahwa banyak terdapat kesulitan dalam memahami rangkaian yang berasal dari fakta bahwa rangkaian seri diajarkan lebih dulu daripada rangkaian paralel di kelas. Hal ini bertolak belakang dengan pemerintah untuk meningkatkan pemahaman.
            Kedua kelompok portofolio yang terpilih memikirkan hambatan listrik sebagai alat untuk mengatur suara pada bel listrik. Para peneliti menuliskan bahwa kebanyakan dari guru yang pernah bekerja sama dalam workshop pengembangan profesi tidak dapat memahami hal ini. Peran penting dari para peneliti adalah untuk menyimpulkan bahwa pengalaman siswa agak berkembang mengenai pemahamannya tentang fungsi resistor dalam rangkaian. Satu hal yang tidak dimiliki oleh orang dewasa.
Langkah 9 : Refleksi proses akhir
            Dalam tahapan ini, kelompok diminta untuk merefleksikan seluruh proses perancangan. Dengan menggunakan dokumen dan rangkaian sebelumnya, mereka meninjau ulang proses pembuatan dan menyiapkan diri untuk menyajikan proses desain mereka secara lengkap di depan kelas. Refleksi proses desain dari kelompok terakhir dikelompokkan dalam 6 tahapan yang terdapat dalam PISCOE.
            Tabel 2 membandingkan perbedaan yang mendasar dalam dokumentasi untuk tahapan-tahapan dalam proses perancangan antara dua tim. Data ini menyediakan semua perspektif tentang portofolio dari kelompok kelas dengan prestasi rendah sampai kepada kelompok kelas dengan prestasi tinggi.
Tabel 2
Perbandingan dokumentasi antar kelompok untuk setiap 8 langkah pada proses desain
Tahapan desain
Langkah aktual
Oh-snap (low)
Medicine (high)
Tujuan











Input






Pemilihan solusi




Operation
Evaluasi
Step 1 : kebutuhan
Step 2 : persyaratan


Step 3 : model sistem


Step 4 : fungsi




Step 5 : sub-sistem



Step 6 : matriks


Step 7 : rancangan




Step 8 : refleksi
Step 9 : refleksi akhir
Semua ide asli
11 persyaratan, hanya grup yang melewati tes sub-sistem
Dikenali dengan jelas hasil yang negatif

5 fungsi




Identifikasi sub-sistem



Evaluasi alternatif berdasarkan pada “Muse have requirement”
Beberapa rancangan sesuai




7 tabel refleksi perbedaan
Terdapat Sesuatu yang dicerminkan pada setiap tahap
Dua ide sama
10 persyaratan


Tidak dikenali dengan jelas hasil yang negatif
4 fungsi
2 fungsi sangat umum dan tidak unik dari spesifik alarm yang mereka desain
Identifikasi alami sangat baik pada setiap sub-sistem  mereka
Evaluasi alternatif berdasarkan pada semua persyaratan
Kebanyakan rancangan sesuai dengan jenis dari aspek of “Medicine” alarm
Hanya 2 tabel
Hampir semua 2 kolom tanpa adanya refleksi

Dalam membandingkan kedua portofolio, beberapa observasi dapat dibuat sebagai berikut :
·         Kelompok dengan prestasi rendah menunjukkan pemikiran yang umum untuk 5 tahapan (tahap 1, 2, 4, 8, 9)
·         Kelompok dengan prestasi rendah menunjukkan ide yang lebih baik untuk 4 tahapan (langkah 2, 3, 4, 6)
·         Kelompok dengan prestasi tinggi menunjukkan pemikiran yang umum untuk 1 langkah (langkah 7)
·         Kelompok dengan prestasi tinggi menunjukkan ide yang lebih baik untuk satu tahapan (langkah 5)

Dengan kata lain, terdapat pola umum (dengan pengecualian pada sketsa) pada kelompok dengan prestasi rendah menunjukkan pemikiran yang generative dan ide yang lebih baik dalam portofolio walaupun nilai keseluruhannya lebih rendah dalam tes tertulis. Sedikit pengecualian dapat dijelaskan dengan observasi kita bahwa kelompok “Medicine Alarm” sangat suka menggambar dan membuat sketsa selama proses desain, sementara itu siswa dengan prestasi rendah terlihat kurang tertarik dalam melakukan hal yang sama. Kedua tim ini sangat tertarik oleh ide mereka selama sesi presentasi, mereka harus diperingatkan untuk memperhatikan kelompok lain yang sedang presentasi, karena mereka tetap bekerja sampai pada saat mereka harus presentasi.
Dengan demikian, modul pembelajaran berbasis desain bekerja lebih baik dari perspektif guru dan siswa. Secara keseluruhan, siswa mendemonstrasikan sebuah tahapan tingkat lanjut tentang dokumentasi. Perancah demonstrasi haruslah tepat dan memiliki kemampuan dalam mendorong ide-ide dan memberikan dorongan kerja. Siswa mengembangkan kemampuan dalam mepresentasikan pekerjaan mereka. Secara signifikan kebanyakan siswa dapat melakukan berbagai ide dalam berpikir generatif.
Pada akhirnya, guru menyatakan bahwa kelas yang tadinya dianggap berprestasi rendah dapat menunjukkan kinerja tim yang tinggi sehingga kelas itu dapat dikatakan menjadi kelas yang berprestasi tinggi.
Sebagai dukungan yang lebih lanjut dari perspektif guru dan para observer menunjukkan bahwa kelas dengan prestasi rendah memiliki tingkat keaktifan yang tinggi. Ketika observasi ini ditujukan kepada guru,  guru menyetujui bahwa siswa yang sebelumnya memiliki masalah dalam memperhatikan pelajaran di kelas dan akhirnya dapat memberikan perhatian penuh selama menerapkan modul desain alarm.

Rangkuman
            Dalam pelajaran ini, siswa diminta untuk membangun suatu teknik bentuk dasar, cara bekerja dalam tim untuk memecahkan suatu rancangan masalah yang nyata, menurut tulisan tangan sendiri merefleksikan proses teknik perancangan. Penemuan ini menunjukkan dua aspek dalam pembalajaran, yaitu penggunaan dan prestasi. Penggunaan ( keikutsertaan ) berpotensi untuk menyoroti penampilan siswa bahwa metode standar penilaiannya tidak nampak.
Prestasi
            Berdasarkan hasil tes pengetahuan, lebarnya rentang ( pada kurva ) menunjukkan peningkatan pemahaman siswa tentang konsep kelistrikan. Secara khusus, hasil ini menunjukkan bahwa Afrika-Amerika dan penurunan waktu makan siang siswa lebih menguntungkan daripada yang lain. Hal ini sama dengan kami mengobservasi pretasi tinggi antara Afrika-Amerika dan pengurangan waktu makan siang selama pelajaran berlangsung. Perubahan antara kedua kelompok siswa ini menganjurkan bahwa desain berbasis pembelajaran membantu seluruh siswa dan mengurangi kesenjangan diantara mereka. Penemuan ini memperkuat penelitian sebelumnya dalam melihat keuntungan dari DBL memahami konsep ilmiah.
            Walaupun hasil dari tes pengetahuan tidak menunjukkan perubahan yang bervariasi pada anak dengan prestasi rendah dibandingkan dengan anak yang prestasinya tinggi. Penelitian lain menunjukkan bahwa siswa dengan prestasi rendah memperoleh tingkat pengetahuan yang sama dengan siswa yang berprestasi tinggi. Berdasarkan penilaian dari teman sebaya dan penilaian dari guru, kita ketahui bahwa siswa dengan prestasi rendah, kehadirannya lebih tinggi daripada presentasi nilai siswa dengan prestasi tinggi.
Nampaknya tes standarisasi, seperti tes pengetahuan digunakan dalam pembelajaran kali ini, namun tes ini seharusnya tidak dijadikan satu-satunya alat untuk menilai siswa. Observasi dan portofolio menunjukan bahwa siswa yang pemahamannya rendah mencapai level pemahaman konsep ilmiah yangs ama meskipun gagal pada tes tertulis. Contohnya tim “Oh-Snap” (dari kelas yang pemahamannya rendah) mengatakan selama presentasi sistem alarm mereka “ Kami berhasil dalam membangun model untuk sistem alarm kami ke tingkat tertentu.” Pernyataan ini menjelaskan bahwa siswa telah menyadari bahwa sebenarnya sistem alarm hasil kontruksi mereka itu memuaskan. Dalam lokakarya dan kelas lain, para peneliti menemukan bahwa siswa dengan pemahaman tinggi diharuskan untuk menunggu instruksi guru untuk mengetahui hal-hal yang selanjutnya harus dilakukan, bagaimana melakukannya, komponen-komponen apa yang digunakan dll. Keteka “Kebebasan untuk belajar” diberikan kepada siswa yang pemahamannya rendah menjadikan mereka dapat menyesuaikan diri dalam proses pembelajaran dan menjadikan mereka lebih kreatif. Modul learner-centered yang diimplementasikan dalam pembelajaran ini, memungkinkan membantu mereka untuk mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi. Penilaian harus menangkap hasil kreatifitas mereka dan harus sensitive terhadap prestasi yang dicapai.

Engagement
Dari hasil observasi aktifitas kelas dan dari hasil analisis siswa yang pemahamannya rendah dibanding siswa yang pemahamannya tinggi memperkuat penelitian sebelumnya dan menngangkat keuntungan proyek berdasarkan pembelajaran yang dimiliki (Barak, Waks dan Doppelt, 2000 ; Doppelt 2003 ). Proyek berdasarkan pembelajaran di lingkungan ilmu pengetahuan membutuhkan investigasi pendekatan baru untuk mengevaluasi proses pembelajaran (Dori & Tol, 2000). Siswa-siswa yang belajar menggunakan masalah yang mereka ciptakan, mengintegrasi sains, teknolosi dan aspek-aspek lainnya mencapai level pemikiran yang membutuhkan evaluasi kembali terhadap kurikulum tradisional (Barton, 1998) dan penilaian.
Penemuan kita dan pengulangan di sekolah-sekolah lain tentang keuntungan-keuntungan dari membiarkan siswa-siswa menyusun sirkuit-sirkuit tanpa secara formal mengajari mereka tentang sirkuit seri dan parallel dan yang membutuhkan penelitian secara lebih lanjut. Hal ini tidak berarti apa-apa ketika dari suatu pembelajaran terbaru ditemukan bahwa hanya 51% siswa yang meyelesaikan pengantar University Physics Coursemengerti konsep sirkuit seri dan hanya 18% mengerti konsep parallel sirkuit (Aalst,2000). Berdasarkan temuan kita, para siswa lebih baik mengerti sirkuit parallel ketika mereka secara tidak sengaja mengkontruksi sirkuit mereka tanpa instruksi awal. Selain itu, mereka kurang mengerti tentang sirkuit seri. Nampakntya, mengajar sirkuit seri di awal yang sudah biasa dilakukan di kebanyakan kurikulum sains mengalami konstradiksi dengan prioritas pengetahuan para   siswa dan pemikiran alami. Penggunaan pengetahuan awal para siswa dan eksplorasi bebas dalam rangka mengajari mereka konsep ilmiah mungkin memiliki keuntungan dari mengikat beberapa siswa dalam proses pembelajaran dan meningkatkan prestasi mereka. Penemuan ini menunjukan penelitian lebih lanjut dibutuhkan dengan maksud mengexplor hal-hal yan menjadi metode terbaik untuk mengajar sirkuit elektrik.

Lingkungan Pembelajaran Berbasis Desain
Mengkombinasikan alat-alat kuantitatif dan kualitatif dalam pembelajaran yang sama dapat membantu peneliti untuk mendapatkan perspektif pada lingkungan belajar (Fraser,1998 ; Fraser & Tobin, 1991). Temuan dari pembelajaran ini menunjukan bahwa DBL memiliki potensi untuk meningkatkan semangat siswa untuk belajar, sukses di kelas sains dan meningkatkan daya tarik siswa terhadap topic sains. Bila kita mengikat siswa untuk menerapkan DBL dan mendorong siswa yang pemahamannya rendah menjelaskan konsep ilmmiah pada level yang tidak pernah di observasi oleh guru mereka. Selain itu, para siswa ikut serta dalam pengalaman medalam dalam desain    kegiatan dan pembuatan hasil teknologi yang bermakna baik dari segi perspektif produk ataupun adri segi dokumentasi dan refleksi perspektif. Jadi desain berbasis sains memiliki potensi untuk meningkatkan pemahaman siswa akan sains tersebut (Fortus, et al.,2004)
Paper ini menyajikan bagian dari pembelajaran yang lebih luas dari modul sistem alarm yang telah diimplementasikan. Melalui observasi intensif di kelas dan melalui diskusi dengan para guru, paper ini adalah seperti tahap awal penelitian untk mempelajari akibat dari modul yang dikembangkan pada engagement dan prestasi. Modul pembelajaran dan alat penelitian ditingkatkan dan diimplementasikan pada tahun kedua. Dengan demikian, aplilkasi sebuah kurikulum baru dalam kolaborasi para oeneliti dan para guru harus bisa memberikan kontribusi bagi keberhasilan penemuan ini (Doppelt, Mehalik & Schunn, 2005;Zohar&Dori,2003)

Pengakuan
Penelitian ini disponsori oleh hibah dari NSF (HER-0227016). Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Mr. Richard P. Mathews untuk terus mendukung pembelajaran ini.   
 
Referensi  
Aalst V.J. (2000). An Introduction to Physics Education Research. Canadian
Barak, M., & Doppelt, Y. (1999). Integrating the Cognitive Research Trust  (CoRT) program for creative thinking into a project-based technology curriculum. Research in Science & Technological Education, 17(2), 139– 151.
Barak, M., & Doppelt, Y. (2000). Using portfolios to enhance creative thinking. Journal of Technology Studies, 26(2), 16–24.
Barak, M., Eisenberg, E. & Harel O. (1995). “What’s in the calculator?” An introductory project for technology studies, Research in Science & Technological Education. 12(2), 147-154.
Barak, M., & Maymon, T. (1998). Aspects of teamwork observed in a technological task in junior high schools. Journal of Technology Education, 9(2), 3-17.
Barak, M., Waks, S. & Doppelt, Y. (2000). Majoring in technology studies at high school and fostering learning. Learning Environment Research, 3(2), 135-158.
Barlex, D. (2005, April). The centrality of designing – an emerging realisation from three curriculum projects, In de Vries J. M. & Mottier I. (Eds.)
International hand book of technology education: Reviewing the past twenty years, (pp. 253-260). Rotterdam, the Netherlands: Sense Publishers.
Barton, A. C. (1998). Examining the social and scientific roles of invention in science education, Research in Science Education. 28(1), 133-151.
Blanchard, B. & Fabrycky, W. B. (1998). Systems Engineering and Analysis. Prentice Hall.
Bonnstetter, J. R. (1998). Inquiry: Learning from the past with an eye on the future". Electronic Journal of Science Education, 3(1). Retrieved May 23, 2007, from http://unr.edu/homepage/jcannon/ejse/bonnstetter.html
Bransford, D. J., Brown, L. A., & Cocking, R. R. (1999). How people learn: Brain, mind, experience, and school. Washington, DC: Committee on Developments in the Science of Learning, National Research Council,
National Academy Press.
Butcher, A.C. Stefanai L. A. J. & Tariq V. N., (1995). Analysis of peer-, self-, and staff-assessment in group project work. Assessment in Education, 2(2), 165-185.
Cumming, G., & Finch, S. (2005). Inference by eye: Confidence intervals and how to read pictures of data. American Psychologist, 60(2), 170-180.
De Bono, E. (1986). Co.R.T Thinking Program (2nd) Ed. Oxford: Permannon Press.
De Vries, M. J. (1996). Technology education: Beyond the “technology is applied science” paradigm. Journal of Technology Education, 8(1), 7–15.
De Vries, M. J. (1997). Science, technology and society: A methodological perspective. International Journal of Technology and Design Education, 7, 21–32.
Denton, H. (1994). The role of group/team work in design and technology: Some possibilities and problems. In: Banks F. (Ed.), Teaching Technology (pp. 145-151). Routledge, London.
Dewey, J. (1916). Democracy and education. The Free Press, New York.
Doppelt, Y. (2003). Implementing and assessing project-based learning in a flexible environment. The International Journal of Technology and Design Education, 13(3), 255–272.
Doppelt, Y. (2004). Impact of science-technology learning environment characteristics on learning outcomes: Pupils' perceptions and gender differences. Learning Environments Research, 7(3), 271–293.
Doppelt, Y. (2005). Assessment of project-based learning in a Mechatronics’ context. Journal of Technology Education, 16(1), 7–24.
Doppelt, Y. (2006). Teachers’ and pupils’ perceptions of science–technology learning environments, Learning Environment Research, 9 (2), 163-178.
Doppelt, Y. (2007, On-line first). Assessing creative thinking in design-based learning. International Journal of Technology and Design Education.
Doppelt, Y., & Barak, M. (2002). Pupils identify key aspects and outcomes of a technological learning environment. Journal of Technology Studies, 28(1), 12–18.
Doppelt, Y., Mehalik, M. M. & Schunn, D. C. (2004). Electrical alarm system: design, construction, and reflection. Learning Research and Development Center, University of Pittsburgh, Pittsburgh, PA.
Doppelt, Y., Mehalik, M. M., & Schunn, D. C. (2005, April). A close-knit collaboration between researchers and teachers for developing and implementing a design-based science module. The annual meeting of the National Association for Research in Science Teaching (NARST), Dallas, TX.
Dori, I. & Tal, R. (2000). Formal and informal collaborative projects: Engaging in industry with environmental awareness. Science Education, 84, 95-113.
Dyer, R. R., Reed, A. P., & Berry, Q. R. (2006). Investigating the relationship between high school technology education and test scores for algebra 1 and geometry. Journal of Technology Education, 17(2), 8–18.
Fortus, D., Dershimer, R.C., Marx, R.W., Krajcik, J., & Mamlok-Naaman, R. (2004). Design-based science (DBS) and student learning. Journal of Research in Science Teaching 41(10), 1081–1110.
Fraser, B. J. (1998). Science learning environments: Assessment, effects, and determinates. In B. J. Fraser & K. G. Tobin (Eds.), International handbook of science education (pp. 527–564). Dordrecht, The Netherlands: Kluwer.
Fraser, B. J., & Tobin, K. (1991). Combining qualitative and quantitative methods in classroom environment research. In B. J. Fraser & H. J.
Walberg (Eds.), Educational environments: Evaluation, antecedents, and consequences (pp. 271–290). Oxford, UK: Pergamon Press.
Gardner, H. (1991). The unschooled mind. New York: Basic Books.
Gardner, H. (1993). Multiple intelligences/the theory to practice. New York: Basic Books.
Gibson, E. J. (1968). Introduction to engineering design. New York: Holt, Rhinehart, and Winston.
Hill, A. M. & Smith, H. A. (1998). Practice meets theory in technology education: A case of authentic learning in the high school setting. Journal of Technology Education, 9(2), 29-45.
Kolb, D. A. (1985). Learning Styles Inventory. Boston: McBer and Company.
Kolodner, J. L., Crismond, D., Gray, J., Holbrook, J., & Puntambekar, S. (1998). Learning by Design from theory to practice. Proceedings of the International Conference of the Learning Sciences (ICLS 98), (pp. 16-22). Charlottesville, VA: AACE.
Kolodner, L. J. (2002). Facilitating the learning of design practices: Lessons learned from inquiry into science education. Journal of Industrial Teacher Education, 39(3).
Lazarowitz, R., Hertz-Lazarowitz, R., & Baird J. H. (1994). Learning in a cooperative setting: Academic achievement and affective outcomes. Journal of Research in Science Teaching, 31, 1121–1131.
McCormick, R. & Murphy, P. (1994). Learning the processes in technology. Paper presented to the Annual Conference of British Educational Research Association, Oxford University, England.
Mehalik, M. M., & Doppelt, Y., & Schunn, C. D. (2008). Middle-school science through design-based learning versus scripted inquiry: Better overall science concept learning and equity gap reduction. Journal of Engineering Education, 97(1), 71-85.
National Research Council (1996). National Science Education Standards, National Academy Press, Box 285, 2101 Constitution Avenue, N.W., Washington, D.C. 20055
Papert, S. (1980). Mindstorms, children, computers and powerful ideas. Basic Books Inc., New York.
Penner, E. D. (2001). Complexity, emergence, and synthetic models in science education. In: K. Crowley, C. D. Schunn, & T. Okada (Eds.) Designing for Science, Mahwah, NJ: Lawrence Earlbaum Associates.
Perkins, N. D. (1992). Technology meets constructivism: Do they make a marriage? In T. M. Duffy & H. D. Jonassen (Eds.), Constructivism and technology of instruction: A conversation (pp. 45–55). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Prince, M. (2004). Does active learning work? A review of the research. Journal of. Engineering Education, 93(3), 223-231
Ritz, J. & Reed, A. P. (2005, April). Technology education and the influences of research: A United States perspective, 1985-2005, In de Vries J. M. & Mottier I. (Eds.) International hand book of technology education:
Reviewing the past twenty years, (pp. 113-124). Rotterdam, the Netherlands: Sense Publishers.
Resnick, M. & Ocko, S. (1991). LEGO/Logo: Learning through and about design, In: Harel I. & Papert S. (Eds.), Constructionism, (pp.141-150). New Jersey: Ablex Publishing Corporation Norwood.
Rivet, E. A. & Krajcik, S. J. (2004). Achieving standards in urban systematic reform: An example of a sixth grade project-based science curriculum. Journal of Research in Science Teaching, 41(7), 669-692.
Sanders, M. E. (2000). Web-based portfolios for technology education: A personal case study. Journal of Technology Studies, 26(1), 11-18.
Silk, E. M., Schunn, C. D., and Strand Cary, M. (2007). The impact of an engineering design curriculum on science reasoning in an urban setting. Proceedings of the National Association for Research in Science Teaching,
New Orleans, LA, United States.
Sternberg, J. R. (1998). Teaching and assessing for successful intelligence. The School Administrator, 55(1), 26–31.
Verner, M. I & Hershko , E. (2003). School graduation project in robot design: A case study of team learning experiences and outcomes. Journal of Technology Education, 14(2), 40–55.

Waks, S. (1995). Curriculum design: From an art towards a science. Hamburg, Germany: Tempus Publications.
Wiggins, G. & McTighe, J. (1998). Understanding by design. Merrill Education/ASCD College Textbook Series, ACSD, Alexandria, Virginia.
Yager, R. E. (1996). Science/technology/society: As reform in science education. Albany, NY: State University of New York Press.
Zohar, A., & Dori, Y. J. (2003). Higher order thinking skills and low achieving students – are they mutually exclusive? Journal of the Learning Sciences, 12, 145–182.

Baca Selanjutnya »»