SELAMAT DATANG Semoga blog ini bermanfaat bagi anda

Sabtu, 20 November 2010

INOVASI DAN PERUBAHAN PENDIDIKAN


       Perubahan Dasar Pendidikan di definiskan oleh Micheal Fullan dan Harold Koontz serta Heinz Weihrich. Menurut Michael Fullan (1998 ) menyatakan faktor yang menyebabkan perubahan dasar pendidikan yaitu : (1). Perubahan mendadak yang melibatkan bencana alam seperti gempa bumi, banjir, dan lain-lain. (2). Pendidikan dilihat mampu menyelesaikan seluruh masalah. Masyarakat menginginkan mampu menghadapi masalah dan tidak ingin ketinggalan. Pendidikan menjadi sasaran perubahan terpenting. (3). Tekanan luar yang dibawa masuk seperti pengimporan teknologi baru dan nilai serta penghijrahan penduduk.
Contohnya penghijrahan penduduk Eropa ke benua Amerika memerlukan inovasi dalam pendidikan karena nilai pendidikan di Eropa tidak lagi sesuai dengan benua Amerika.
Sedangkan menurut Harold Koontz dan Heinz Weihrich, faktor perubahan pendidikan bertitik tolak dari : Peningkatan penggunaan komputer khususnya komputer mikro menghendaki guru dan pelajar mempelajari ilmu komputer. Contohnya ialah Bill Gates yang menjadi milyuner dunia di karenakan perusahan Microsoft menguasai bidang teknologi komputer. Ini diikuti dengan negara India yang semakin menguasai bidang ini. Selain itu industri dan teknologi dapat mengurangkan tingkat kemiskinan, pengangguran dan kelaparan di negara India.
Perbedaan antara perubahan (change) dan inovasi (innovation) menurut Nichols (1983:4) bahwa perubahan mengacu kepada kelangsungan penilaian, penafsiran dan pengharapan kembali dalam perbaikan pelaksanaan pendidikan yang ada yang diangap sebagai bagian aktivitas yang biasa. Sedangkan inovasi menurutnya adalah mengacu kepada ide, obyek atau praktek sesuatu yang baru oleh seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud untuk memperbaiki tujuan yang diharapkan.
Adapun faktor-faktor  yang menyebabkan perubahan pendidikan secara umum antara lain :
  1. Faktor Teknologi
  2. Gaya Hidup
  3. Persaingan
  4. Perubahan dasar politik
  5. Perubahan dasar struktur Ekonomi
  6. Perubahan lapangan Kerja
Pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia pendidikan semakin pesat. Penggunaan teknologi informasi sebagai sumber belajar dan media pembelajaran merupakan cara yang diharapkan efektif menanggulangi kelemahan persoalan pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Kemajuan komputer, televisi, radio, telepon, internet menjadi kesatuan inovasi dalam pembelajaran yang di kenal sekarang dengan istilah E-learning (elektronik Learning). E-learning di definisikan sebagai upaya menghubungkan pembelajar (siswa) dengan sumber belajar (data base, pakar/guru, perpustakaan) yang secara fisik terpisah atau bahkan berjauhan. Interaktivitas dalam hubungan ini dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung (Udin Saefudin 2008:185).
Perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik suatu negara telah berkembang bertahap. Perubahan ini juga terjadi pada masyarakatnya sehingga terjadi perubahan sikap, sifat atau gaya hidup individu sebagai akibat perubahan kehidupan masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Adanya modernisasi pendidikan menunjukkan telah berkembangnya inovasi pendidikan.
Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah menurut Idris HM. Noor dalam (www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/) :
  1. Pengembangan (development),
  2. Penyebaran (diffusion),
  3. Diseminasi (dissemination),
  4. Perencanaan (planning),
  5. Adopsi (adoption),
  6. Penerapan (implementation)
  7. Evaluasi (evaluation)
Dalam inovasi pendidikan, secara umum dapat diberikan dua buah model inovasi yang baru yaitu: 1). Top-down model yaitu inovasi pendidikan yang diciptakan oleh pihak tertentu sebagai pimpinan/atasan yang diterapkan kepada bawahan; seperti halnya inovasi pendidikan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasinal selama ini. 2). Bottom-up model yaitu model inovasi yang bersumber dan hasil ciptaan dari bawah dan dilaksanakan sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pendidikan.
Pelaksanaaan inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dari inovator dan pelaksana inovasi itu sendiri. Inovasi pendidikan seperti yang dilakukan di Depdiknas cenderung merupakan "Top-Down Inovation". Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya. Dan bawahan tidak punya otoritas untuk menolak pelaksanaannya. Model itu kebalikan dari model inovasi yang diciptakan berdasarkan ide, pikiran, kreasi, dan inisiatif dari sekolah, guru atau masyarakat yang umumnya disebut model "Bottom-Up Innovation". Model yang kedua ini jarang dilakukan di Indonesia selama ini karena sistem pendidikan yang sentralistis (Idris HM. Noor dalam www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026/)
Banyak contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas selama beberapa dekade terakhir ini, seperti cara belajar siswa aktif (CBSA), sekolah kecil, sistem belajar jarak jauh, KBK, KTSP, sekolah standar nasional (SSN), dan lain-lain. Namun inovasi yang diciptakan oleh Depdiknas hanya berjalan dengan baik pada waktu berstatus sebagai proyek dan banyak yang tidak bertahan lama dan hilang begitu saja. Tidak sedikit model inovasi seperti itu, pada saat diperkenalkan atau bahkan selama pelaksanaannya banyak mendapat penolakan (resistance) bukan hanya dari pelaksana inovasi itu sendiri (di sekolah), tapi juga para pemerhati dan administrator pendidikan. Depdiknas saat ini melaksanakan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang terdiri (1) standar isi, (2) standar kompetensi lulusan, (3) standar proses, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Salah satu faktor menentukan efektifitas pelaksanaan inovasi pendidikan adalah ketepatan penggunaan strategi inovasi. Kennedy (1987:163) membicarakan tentang strategi inovasi yang dikutip dari Chin dan Benne (1970) menyarankan tiga jenis strategi inovasi, yaitu:
1.           Power Coercive (strategi pemaksaan)
Strategi pemaksaaan berdasarkan kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya. Pihak pelaksana yang sebenarnya merupakan obyek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Para inovator hanya menganggap pelaksana sebagai obyek semata dan bukan sebagai subyek yang juga harus diperhatikan dan dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya.
2.          Rational Empirical (empirik rasional)
Asumsi dasar dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Dalam kaitan dengan ini inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Strategi ini juga didasarkan atas pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Idris HM. Noor dalam www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi/Jurnal/No_026.
Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan situasi dan kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untuk bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbualan-bulan bahkan bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi tersebut.
3.           Normative-Re-Educative (Pendidikan yang berulang secara normatif).
Jenis strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif (pendidikan yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Idris HM. Noor dalam www. infogue.com) yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia.
Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman pelaksana dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat tercapai.
Penerapan strategi inovasi pendidikan khususnya disekolah memerlukan petunjuk. Salah satu petunjuk penerapan strategi inovasi pendidikan menurut Udin saefudin (2008 :74-76) adalah :
Gunakan Metode atau Cara yang Memberi Kesempatan Untuk Berpatisipasi Secara Aktif dalam Usaha Merubah Pribadi Maupun Sekolah.  
Penerapan inovasi di sekolah akan berhasil jika masyarakat sekolah (kepala sekolah, guru, siswa dan warga sekolah lainnya) memperhatikan empat hal yakni :
1.       Tujuan diadakan inovasi di mengerti dan di terima oleh guru, siswa serta orang tua dan juga masyarakat. Harus dikemukakan dengan jelas mengapa perlu ada inovasi. Tujuan inovasi dirumuskan dengan jelas baik pengetahuan, ketrampilan atau sikap. Jika tujuan ditunjukkan jelas maka guru, siswa dan orang tua akan mudah memahami apa yang di harapkan oleh inovator. Usaha untuk memperjelas informasi inovasi perlu mendayagunakan segala fasilitas yang ada
2.      Motivasi positif harus digunakan untuk memberikan rangsangan agar mau menerima inovasi. Motivasi dengan ancaman, dengan mengajak agar orang orang mengikuti apa yang dilakukan, atau dengan menasehati agar orang menghindari kegagalan, belum tentu dapat berhasil. Kepandaian untuk menganalisa tujuan serta potensi hasil inovasi sangat diperlukan untuk memberikan motivasi yang tepat. Apakah tujuan memang merupakan hal yang sangat perlu atau yang pantas untuk di capai. Orang yang memberikan motivasi kepada orang lain harus memperhatikan adanya perbedaan individual.
3.       Setiap Individu dari masayarakat sekolah diberi kesempatan aktif mengambil keputusan menerima atau menolak inovasi. Mereka di beri kesempatan memikirkan dan mendiskusikan berbagai alternatif bagaimana cara pemecahan masalah dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Usahakan pemberian informasi yang sejelas-jelasnya tentang inovasi (apa, mengapa, dan bagaimana) dengan menggunakan fasilitas dan media yang ada. Demikian pula perlu di kumpulkan data tentang kondisi dan situasi sekolah yang berkaitan inovasi, kemudian data di analisa untuk menentukan cara atau posedur yang tepat dalampenerapan inovasi.
4.      Perlu direncanakan tentang evaluasi keberhasilan program inovasi. Kejelasan tujuan dan cara menilai keberhasilan inovasi merupakan motivasi yang kuat untuk menyempurnakan pelaksanaan inovasi.
Di samping keempat hal tersebut, perlu diperhatikan urutan langkah pelaksanaan program hendaknya dibuat dengan fleksibel. Jadwal kegiatan disusun disesuaikan dengan mengingat perbedaan individual baik dalam kemampuan, kesempatan dan kesibukan. Mereka diharapkan menyadari bahwa kegiatan tidak harus dalam jenis dan waktu yang sama. Yang sangat penting dibuat adalah kejelasan pembagian tugas; siapa yang harus mengerjakan apa dan kapan serta dimana. Dalam manajemen terkenal dengan pendekatan PERT (program-evaluation-review-technique). Perlu juga dipikirkan tentang kemungkinan terjadinya penyimpangan, kegagalan dan dipersiapkan cara menghindari penyimpangan penerapan inovasi.
Evaluasi terhadap keberhasilan program inovasi diharapkan dapat mengatasi kendala-kendala yang yang umumnya mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi pendidikan. Kendala-kendala tersebut seperti dalam inovasi kurikulum antara lain adalah (1) perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi (2). konflik dan motivasi yang kurang sehat (3). lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan (4). keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi (5). penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi (6) kurang adanya hubungan sosial dan publikasi (Subandiyah 1992) dikutip Idris HM. Noor dalam www.pdk.go.id/balitbang/Publikasi. Untuk menghindari permasalahan tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan dikembangkan, sehinga inovasi itu diharapkan dapat berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan masyarakat umumnya harus dilibatkan.
   

KESIMPULAN
   
Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatkan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja strategi penerapan inovasi dan metode, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas.
                Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.

1 komentar: